Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir saya menuliskan sesuatu di blog ini. Saya ingat post terakhir saya adalah opini saya tentang hijab atau A Piece of Cloth. Saya kira post tersebut saya upload baru-baru ini, tapi ternyata sudah sejak November 2020 lalu. Desember, Januari, saya lewatkan begitu saja tanpa sebuah tulisan di blog ini.
I have a lot of things in mind but I have that anxious feeling to share it with the world which is quite strange because I used to share a lot back then.
Pada bulan woman's history ini, saya ingin menuliskan pendapat saya mengenai perempuan berdasarkan pengalaman pribadi saya, seorang perempuan. Saya merasa, sebagai perempuan (terutama perempuan dewasa), saya kadang merasa bahwa saya harus membuktikan banyak hal kepada orang-orang (baik secara umum maupun anggota keluarga lain yang dituakan). Sebagai perempuan, daripada menjalani hidup seperti apa yang perempuan itu bisa dan pilih, rasanya banyak hal yang seolah-olah harus dilakukan hanya karena ingin membuktikan atau ingin menunjukkan sesuatu.
Mimosa flower source: Unsplash |
#1 Pembuktian fisik
Saya merasa saya harus bisa mencapai bentuk badan seperti ini. Saya merasa saya harus bisa mencapai tingkat kehalusan kulit seperti itu. Usia 30 saya harus bisa tetap awet muda, dan sebagainya dan sebagainya. Apakah ini juga bentuk dari proses pembuktian bahwa saya perempuan yang cantik jika saya... berat badan sekian? Saya adalah perempuan yang cantik jika saya... awet muda dan mulus? Banyak tujuan-tujuan di atas yang saya rasa lebih banyak menjadi tujuan dari keinginan membuktikan sesuatu ketimbang keinginan pribadi dengan tujuan yang lebih tulus.
Misal, saya ingin memulai berolahraga dan mengatur pola makan agar tidak banyak masalah kesehatan di masa tua. Atau saya menerima kenyataan bahwa manusia akan menua dan akan memiliki kerut di beberapa bagian tubuh, saya akan merawat kulit semampu saya bukan berarti saya menolak dan atau malu akan kerut dan keriput.
Saya sendiri termasuk dari orang yang merasa harus membuktikan bahwa saya itu bisa loh menurunkan berat badan, berdasarkan rasa dendam kolektif yang menumpuk karena kerap dibilang chubby atau gendut. Saya sendiri percaya saya tidak termasuk dalam golongan yang berlebihan hingga mengkhawatirkan, tapi ya itu, karena banyak basa-basi basi yang cenderung mengomentari fisik: gendutan ya? atau kok sekarang gendut banget? Saya jadi bertekad untuk lebih banyak berolahraga dan menjaga makan saya.
Sekarang saya sudah berhasil menurunkan berat badan dengan olahraga dan diet, tapi orang-orang yang sama yang mengomentari berat badan saya akan berkomentar hal yang sebaliknya; kok kecil sekarang, atau makanan apa itu kok ga makan nasi? dan sebagainya. Saya sampai merasa cemas kalau nanti sewaktu pulang ke Indonesia dan bertemu sanak saudara, yang pertama dikomentari adalah fisik, apakah saya menjadi lebih gendut? Apakah lebih kurus? Apakah saya memiliki jerawat? Apakah kulit saya bertambah coklat?
Hal ini pernah saya tuliskan pada post blog saya di sini.
Kenapa saya harus melakukan 'pembuktian' bahwa saya itu cantik dengan cara saya memiliki berat badan ideal (menurut orang-orang), memiliki wajah mulus, tidak memiliki kerut, awet muda, dan sebagainya? Apakah laki-laki juga mengalami tekanan yang sama seperti ini?
#2 Pembuktian perihal uang
Belakangan menjadi perempuan mandiri menjadi tren di kalangan pengguna sosial media. Saya setuju dengan pernyataan bahwa perempuan sebaiknya memang harus bisa berdikari, harus bisa mendapatkan kesempatan yang sesuai dan sama dengan laki-laki dalam bidang penawaran pekerjaan, beasiswa, maupun menjadi pedagang atau entrepreneur.
Tapi apakah dari pernyataan tersebut, kemudian kami, perempuan juga harus membuktikan bahwa saya bisa loh dapat uang sebesar sekian juta, sekian puluh juta, dan atau sekian ratus dua ratus juta. Maka saya harus mendapatkan laki-laki dengan pendapatan lebih besar dari apa yang saya miliki. Saya jadi merasa bahwa pernyataan tersebut didasarkan kepada kebutuhan untuk membuktikan bahwa segini loh pendapatanku, ketimbang untuk menyatakan bahwa saya membutuhkan laki-laki tersebut.
Apakah jika kemandirian ditandai dengan uang, berarti ibu rumah tangga disebut tidak mandiri hanya karena mungkin mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan sejumlah uang tersebut? Atau banyak teman-teman perempuan lain yang saya yakin ingin dan berusaha sama kerasnya dengan yang lain namun kondisi dan karena satu dan lain hal, mereka belum bisa atau tidak bisa mencapai 'angka' tersebut.
Saya sendiri memiliki beberapa pengalaman pribadi terkait uang. Sebenarnya sudah saya tuliskan, namun lagi-lagi karena saya merasa 'pembuktian' ini kurang perlu, maka saya putuskan untuk menghapusnya. Kurang lebih stereotype seputar keuangan adalah hal yang wajar di kalangan masyarakat; bahwa hal-hal terkait uang, harta, dan atau materi merupakan prestasi dari suami/laki-laki. Sedangkan hal-hal terkait makanan, kebersihan, dan rumah merupakan prestasi dari istri/perempuan.
Saya yakin betul bahwa banyak sekali ibu-ibu dan istri-istri yang berperan besar dalam keuangan keluarga namun tidak mendapat atau kurang mendapatkan apresiasi yang seharusnya. Sedangkan jika sebuah keluarga menjadi boros, maka yang disalahkan kemungkinan juga perempuan karena dianggap tidak bisa mengatur keuangan keluarga atau terlalu boros untuk membeli kelengkapan kecantikan, dan sebagainya.
Dari situ saya merasa ya bahwa mungkin memang perlu untuk perempuan mengumumkan bahwa pencapaian-pencapaian tertentu memang mereka yang mendapatkan atau membeli benda tesebut sendiri atau mereka juga turut serta dalam proses tersebut. Namun di satu sisi, hal ini membuat saya sedih, kenapa kami, perempuan harus berusaha keras membuktikan hal yang seharusnya menjadi wajar kami dapatkan (apresiasi)?
#3 Pembuktian perihal keluarga
Sebagai perempuan selain harus bisa membuktikan cantik dan mandiri seperti di dua poin yang saya sebutkan di atas, saya juga harus bisa membuktikan bahwa saya bisa mengurus keluarga. Dalam artian, kasus saya adalah sudah menikah dan menjadi istri. Saya harus bisa memasak (ya, saya bisa secukupnya), saya harus bisa bersih-bersih rumah, saya harus bisa cuci baju dan sebagainya.
Seperti yang saya sebutkan tadi, urusan rumah adalah harga diri istri. Karena itu saya sangat terbatas untuk memperbolehkan orang bertamu ke rumah. Saya tidak mau ada orang yang berkomentar soal kebersihan dan atau kerapihan rumah.
Saya cukup sering mendapatkan komentar terkait hal ini. Contoh sederhana adalah saat saya sedang mencuci piring di rumah (saat itu) calon mertua, salah seorang kerabat berkomentar kok cuci piringnya kayak gitu? Kalau dilihat calon mertuamu nanti cuci piring saja tidak bisa. Saya cukup merasa terganggu karena saya sudah tinggal sendiri (kos) sejak tahun 2013 dan sudah bisa dipastikan saya mengerti caranya mencuci piring biasa dengan air mengalir, sponge cuci piring, sabun cuci piring. Saya tidak merasa ada yang aneh. Apakah pihak laki-laki mendapat komentar seputar hal ini? Kemungkinan tidak.
Untuk perempuan yang masih sendiri, maka pembuktiannya akan terkait kapan punya pacar? Kapan menikah? Seolah-olah tanpa hal tersebut kami para perempuan belum cukup. Setelah menikah, pertanyaan selanjutnya adalah kapan punya anak? Kok menunda? Seolah-olah memiliki anak adalah pembuktian bahwa ya kami adalah keluarga yang bahagia. Beban mengurus anak juga akan ditimpakan lebih banyak kepada ibu/perempuan. Kok sama ibunya dikasih makan ini itu? Kok anaknya begini begitu? Dan sebagainya.
#4 Pembuktian seputar kecerdasan
Kami sebagai perempuan juga harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa kami juga bisa, kami juga pintar, kami juga bisa berdiskusi mengenai berbagai macam topik dan tidak hanya sebatas urusan keluarga dan rumah.
Banyak perempuan yang merasa harus bekerja lebih keras hingga dua kali lipat untuk mencapai hal yang bisa diraih dengan mudah oleh kolega laki-laki. Banyak perusahaan yang kurang percaya untuk mengambil pegawai/karyawan perempuan dengan alasan ragu-ragu, kurang meyakinkan, atau karena hal-hal terkait keluarga (menikah, melahirkan) akan dirasa menghambat kinerja perempuan tersebut.
Pada suatu hari saat saya bekerja untuk sebuah proyek kecil. Saya menawarkan diri untuk melakukan layout dan grafis untuk buku tersebut karena hal itu memang hal terbaik yang saya bisa lakukan. Saya membuat proposal karena tema besar adalah 'Home' maka saya berikan penawaran tone/konsep yang hangat. Salah satu kolega (laki-laki) saat itu menertawakan saya dan menawarkan diri untuk melakukan layout dan grafis ketimbang saya. Saya ingat betul dia tertawa dan bilang 'Apa itu warm tone? Gambar-gambarmu terlalu lucu dan imut untuk konsep ini', saya rasa justru anda yang tidak layak untuk mengerjakan jika konsep warna hangat saja tidak paham.
Karena dia laki-laki dan memiliki konsep yang lebih 'cool' dan 'keren', jadi dia lah yang terpilih, saya hanya menjadi 'asisten' dan membantu merealisasikan hal-hal yang dia inginkan dengan warna-warna gelap, seperti hitam dan ungu. Mungkin kalau saya laki-laki dan berbicara seperti itu, reaksi akan berbeda dari jika saya (perempuan) dan berpakaian berwarna-warni yang berbicara.
Pernah juga saya dan suami sedang dalam sebuah acara dengan diaspora Indonesia, beberapa teman pelajar laki-laki merasa awkward untuk mengajak saya berbicara. Mereka berasumsi saya tidak bisa diajak berdialog mengenai isu-isu terkini. Teman perempuan juga merasa bingung karena mereka menganggap pikiran saya hanya seputar keluarga dan rumah tangga.
Ayolah, kami perempuan juga bisa berbicara tentang musik, isu sosial terkini, film, teknologi, dan sebagainya. Kami mungkin lebih mengerti tentang beberapa topik tertentu, kenapa harus berbicara seputar hal-hal yang itu-itu saja? Ketika perempuan dituntut untuk menjadi pintar namun hal itu-itu saja yang akan dibahas saat bertemu dengan perempuan.
Sekiranya empat point tersebut yang saat ini ada di pikiran saya. Saya yakin mungkin ada beberapa hal lain yang belum sempat saya tuliskan. Namun kira-kira begitu yang ingin saya tuangkan. Mengenai mengapa kami, kita, perempuan banyak melakukan pembuktian-pembuktian yang mungkin semestinya tidak perlu.
Saya mungkin sudah sedikit bosan dengan 'pembuktian' poin-poin tersebut, sehingga saya lebih sering merasa biarkan saja jika ada orang yang melihat saya tidak melakukan apa-apa, hanya di rumah, tidak menjaga kecantikan diri, kurang pekerja keras, kurang cerdas, atau tidak jago memasak dan bersih-bersih. Kemungkinan hal-hal tersebut belum tentu benar adanya. Saya percaya banyak sekali teman-teman perempuan yang memiliki cerita tersendiri, seorang pekerja keras, bekerja lebih hebat, menghasilkan lebih banyak (bukan hanya secara materi), bermanfaat untuk keluarga dan lingkungan, dan menyimpan hal-hal tersebut untuk diri mereka sendiri.
Pembuktian lebih baik dilakukan pada diri sendiri, membuktikan bahwa hari ini lebih baik daripada hari kemarin, terdengar klise memang. Tapi saat ini saya berusaha keras untuk membuktikan kepada diri sendiri, bahwa semakin hari saya lebih baik dan berkembang sesuai kapasitas dan kemampuan saya. Agar saya sendiri dan orang-oran terdekat yang benar-benar peduli, lebih mengapresiasi perkembangan dan pencapaian saya.
Semoga teman-teman perempuan saya juga merasa begitu ya.
Remember that you are enough and you did great.
Addina Faizati
Brescia, 2021
Jelang musim semi
0 comments