“Time flows in strange ways on Sundays, and sights
become mysteriously distorted.”
– Haruki Murakami
Kalau
kalian pernah membaca buku Haruki Murakami, pada salah satu bukunya yang
berjudul IQ84, di situ Haruki Murakami menuliskan bahwa si tokoh, Tengo, memiliki
suatu perasaan yang aneh yang muncul pada hari Minggu. Ada pengalaman khusus
pada si Tengo yang membuatnya selalu merasa aneh dengan waktu yang berjalan dan
apa apa yang terjadi di setiap hari Minggu.
Begitupun
denganku. No. Not in Sunday, anyway. Tapi
hari ini, hari Sabtu.
I never know before that Saturday could be
this interesting. Sebelumnya, aku merasa hari Sabtu adalah hari
yang biasa. Seperti biasa dan terlalu biasa seperti hari hari lain yang juga
biasa. Bagiku, Sabtu hanyalah salah satu bagian dari weekend, dari hari libur yang aku miliki setiap minggu. Sabtu
buatku adalah hari yang kugunakan untuk membaca, ke perpustakaan kota, tidur,
membereskan kamar kos, atau sekedar bermalas malasan sambil mendengarkan musik.
But your life could change in a second. Mungkin
sekitar 7200 detik yang lalu, ah bukan, lebih tepatnya 9000 detik yang lalu,
detik di mana aku memutuskan untuk mengisi Sabtu ku dengan melanjutkan membaca Relativitas di suatu perpustakaan kota.
Minggu ini aku terlalu miskin untuk sekedar membeli secangkir mocca latte di coffee shop langgananku.
Perpustakaan
kota pada hari Sabtu relatif sepi pembaca, not
to mention fakir wifi yang banyak
berjajar di area outdoor perpustakaan,
ya. Ah, kapan sih, negeri ini memiliki
budaya membaca. Gumamku. Aku terduduk di tepi dekat dinding area baca
perpustakaan. Hanya ada dua – tiga orang yang terlarut pada bacaan, atau
catatannya masing masing.
Aku pun
terlarut pada bacaan berbasis arsitektur selama hampir setengah jam penuh.
Sampai akhirnya aku terbuyarkan oleh suara derit pintu dibuka. Seorang
perempuan berusia kira kira dua hingga tiga tahun di bawahku dengan baju
terusan berwarna biru tua dan cardigan berwarna hijau limau. Rambutnya lurus
hitam sebahu dengan wajah sedikit oriental dan make up tipis natural.
Your life could change in a second. Really.
Perempuan
itu menoleh ke kanan dan kiri mencari cari tempat duduk kosong. No. Dia tidak duduk di sebelahku. Dia
memilih duduk di jajaran kursi bulat empat empat di seberang diagonalku. Tiba tiba materi Relativitas yang
disampaikan Adi Purnomo tidak lagi dapat kupahami betul. Sudah minggu kedua
berturut aku membaca buku di hari Sabtu di perpustakaan kota ini, baru kali ini
aku melihat perempuan itu. Perempuan yang mungkin sama sama nerd nya untuk sekedar membaca buku di
perpustakaan kota. Really, untuk
paras secantik dia, dan usia sekitarnya, aku kira, dia akan lebih memilih mall atau coffee shop ternama.
Perempuan
tadi membaca suatu buku yang tidak terlihat cover
nya dengan jelas dari sini. Apa yang
dia baca? Seperti apa selera bukunya? Non fiksi kah? Fiksi kah? Atau science
fiction? Atau hanya bacaan drama cheesy teenlit sesuai umurnya? Sekitar satu
setengah jam kemudian aku membaca Relativitas
pada suatu bab berulang ulang karena rasanya konsentrasiku terpecah akan
keberadaan perempuan tadi di sisi diagonal seberangku. Sampai akhirnya
perempuan tadi seperti sedikit terhenyak dan cepat cepat memasukkan bukunya - still can’t see the book cover, by the way -
dan bergegas keluar dari ruangan baca perpustakaan ini.
Yup. Sejak Sabtu itu, aku entah mengapa
seperti kerbau ditusuk hidungnya, sampai sampai tanpa sadar aku mengendarai
motorku pada hampir setiap hari Sabtu dengan jam yang kira kira sama dengan
minggu lalu kembali ke perpustakaan ini, dengan bacaan berbeda, yang sedikit
lebih ringan, agar aku tidak lagi pusing mengulang ulang Relativitas seperti minggu lalu. Dengan sedikit berharap tipis aku
memasuki ruang baca perpustakaan.
Shit, she is here!
Perempuan
itu duduk di jajaran kursi di meja panjang yang minggu lalu aku tempati. Ah, mungkin dari minggu lalu dia memang
ingin duduk di situ. Kali ini dia tampak mengikat ekor kuda rambut lurus
hitam sebahunya dan mengenakan pakaian berlengan pendek dengan kerut di bagian
lengannya. Terlihat menunduk serius membaca bukunya - entah apa yang dibacanya. Jantungku berdegup kencang. Should I, shouldn’t I? Aku melangkah
perlahan mencoba tampak tenang dan memutuskan untuk duduk berhadapan dengan
perempuan tadi.
Meletakkan
tas ransel bututku di meja, tanganku menggeser sedikit mengeluarkan kursi.
Sedikit terkaget dia dan menengadahkan kepalanya. Aku tersenyum sedikit. “Boleh
duduk di sini?” tanyaku. Basa basi basi ala awal 90 an yang mungkin tidak
perempuan itu tahu. Perempuan itu tersenyum kecil membalas senyumanku dan
mengangguk sedikit.
Oh damn!
Aku
mengeluarkan Arsitektur yang Lain ku.
Mencuri lirik sedikit ke arah buku yang sedang dibacanya. Tampak sedikit aku
kenal tampilannya. “Negeri Para Peri?” celetukku spontan. Murni bukan karena
sedang berusaha mendekati seorang perempuan, hanya karena sesama pembaca buku. Finger cross. Perempuan tadi menghentikan
aktivitas membacanya.
“Iya..”
sahutnya pelan. Pertama kali aku
mendengar suaranya. Suaranya biasa saja, seperti perempuan perempuan lain,
sedikit pelan dan berada di tangga nada yang tinggi.
“Ah,
kebetulan saya juga sedang membaca karya Avianti Armand yang lain.” Lanjutku,
menunjukkan Arsitektur yang Lain yang
sedang ada di tanganku.
“Kakak arsitek
ya?”
“Bisa
jadi.” Aku tersenyum sambil menjawab pertanyaannya. “Oh ya, nama kamu siapa?”
Kami
berjabat tangan sebentar, saling menyebutkan nama kami, dan terlarut dalam
bacaan kami masing masing.
Minggu
pertama kami berkenalan kami berbincang bincang di sela sela bacaan kami masing
masing. Mostly tentang bagaimana
ceritanya dia membaca buku Avianti Armand dan buku favorit kami masing masing. Rupanya
dia adalah seorang pelajar kelas dua belas Sekolah Menengah Atas yang sedang
mempelajari beberapa fakultas untuk pilihan universitasnya nanti. She want to be a architect. Dia menunggu
di perpustakaan ini karena dekat dengan tempat bimbingan belajarnya. As simple as it.
Sabtu demi
Sabtu berlalu dengan aneh. Kami hanya bertemu dan berbincang setiap hari Sabtu
pada sekitar jam satu hingga jam tiga. Hanya itu. That two hours really change how I see a weekdays. Rasanya sudah
tidak sabar aku cepat cepat melalui weekdays
dan kembali weekend untuk sekedar
duduk membaca dan berbincang di sela bacaan kami di hari Sabtu.
And after I met her, Saturday really flows in
a strange ways.
Semua
seolah berjalan cepat dan lambat secara bergantian dengan aneh. Bisa jadi aku
membaca satu bab bacaan dalam waktu dua hari berulang ulang tidak paham, bisa
jadi keterbalikannya, satu buku kuhabiskan kurang dari satu hari. Saat kami
berbincang bincang waktu berjalan dengan lebih aneh lagi. Aku tidak bisa
menggambarkannya. Seolah berjalan lambat terlalu lambat kemudian tiba tiba
seperti ada remote yang menekan
tombol forward dan semua bergerak sangat
cepat.
Hari Sabtu
ini aku bangun kesiangan. Aneh. Aku
hampir tidak pernah bangun kesiangan. Kemarin pun aku tidak pulang terlalu
malam. Aku bergegas mandi, sikat gigi, dan sarapan roti tawar seadanya untuk
segera menuju perpustakaan seperti yang biasa aku lakukan pada hari Sabtu di
satu dua bulan terakhir ini. Hari ini sangat aneh. Aku masih mengantuk, padahal
aku bangun kesiangan. Aku hampir terkantuk kantuk di atas motor bebekku. Atau memang setiap hari Sabtu waktu berjalan
dengan aneh?
Aku tiba
di perpustakaan sedikit terlambat dari biasanya aku bertemu dengan perempuan
itu. Perpustakaan hari ini sangat sepi. Tidak ada orang hanya penjaga
perpustakaan. Aku duduk di tempat biasanya dan membaca suatu bacaan baru. Tumben dia belum datang.
Tik tok tik tok tik tok.
Satu menit,
dua menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tiga jam. Dia masih belum juga datang. Dan kami
sama sekali belum pernah bertukar nomor telepon atau alat komunikasi lainnya
semacam sosial media. Aku pulang dengan perasaan kecewa. Mungkin dia sakit, dan tidak masuk les, pikirku.
Sabtu hari
ini sangat aneh, sudah dua bulan berturut kami bertemu dan berbincang di sela
sela buku kami masing masing di perpustakaan di hari yang sama, jam yang sama,
dan tempat yang sama. Aku berulang ulang membaca satu paragraf yang sama tanpa
sekalipun memahami isinya. Apa dia sudah
pulang karena aku terlambat? Atau hari ini dia sakit? Apa dia sudah tidak lagi
mengikuti bimbingan belajar. Aku bahkan belum sempat meminta nomor teleponnya. Berbagai
pertanyaan dan penyesalan muncul dengan anehnya di kepalaku. Sampai aku
tertidur dan terbangun sudah tidak di hari Sabtu.
Hari hari
berikutnya hari hari ku berjalan kembali seperti biasa. Sampai hari Sabtu
kembali tiba. Anehnya, hari ini aku sudah tidak merasa aneh. Aku kembali menuju perpustakaan. Perpustakaan sepi, sama
sepinya seperti minggu lalu. Aku kembali mengulang apa yang aku lakukan minggu
lalu, duduk di tempat yang sama dan membaca masih bacaan yang sama.
Tik tok tik tok tik tok.
Satu
menit, dua menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tiga jam.
Dia tidak datang lagi. Anehnya, waktu ku
di hari Sabtu ini tidak lagi terasa aneh. Hari ini aneh, karena tiba tiba waktu
di hari Sabtuku tidak lagi berjalan dengan aneh.
Your life could change in a second, dan pada
detik aku tidak bertemu dengannya di suatu hari Sabtu, hidupku berubah kembali.
Addina Faizati
dibuat pada suatu malam sepulang dari Todays' Koffie
diselesaikan hari ini
terinspirasi dari cerita salah seorang teman :)
1 comments
Belum pernah baca bukunya Haruki Murakami
ReplyDelete