“Somehow I think that we are all an actrees and actors who play unscripted-live-movie.”
(addinaf)
Kamu masih terus menatap dalam dalam secangkir teh manis di hadapanmu. Sambil sesekali mengaduknya. Sampai mendingin. Karena katamu, kamu tidak suka kopi. Tapi kamu masih mau aku ajak untuk sekedar duduk bertemu dan berbincang sebentar disini. Di kedai kopi favoritku. Boleh aku berharap?
“Teh mu sudah dingin.” Kataku. Sama seperti perasaanmu, mungkin?
“Biar.”
“Mau pesan teh lagi? Atau mau coba kopi? Mau kupesankan?”
Kamu menggeleng. Sebuah gelengan yang terlalu lemah. Entah karena malas atau karena perasaan tertentu. Sedih. Atau kesepian? Segera aku menepis prasangkaku. Gelengan lemahmu mengingatkanku pada rajukan rajukan mu yang dulu. Masih sama. Lemah. Merajuk.
“Kamu tau nggak Ray, kadang aku mikir kalau kita semua ini aktor dan aktris. Kita lagi mainin film kita masing masing. Tapi tanpa skrip. Dan live.” Celetukmu tiba tiba sambil mengaduk sepiring pasta di depanmu.
“Oh ya? Kalau begitu, aku pasti aktor yang ganteng deh.” Jawabku tidak serius. Lalu kamu memukulku pelan. Dan kita berdua tertawa.
“Kenapa?” tanyaku lagi. Kamu masih saja menggeleng. Lalu diam. Momen diam. Dead air. Aku mau kamu banyak bercerita. Tentang kuliahmu, temanmu, perasaanmu, majalah kesukaanmu, music kesukaanmu, keinginanmu, cita citamu. Tentang kamu. Seperti dulu.
“Kenapa selalu aku sih, yang banyak ngomong?” gerutumu cemberut di tengah tengah perbincangan makan malam biasa kita.
“Aku nggak tau mau ngomong apa.” Balasku. Sepiring carbonara di depanku masih belum habis. Terlalu sibuk mendengarkan dia bercerita. Banyak. Sangat banyak. Terlampau banyak.
Aku diam. Menatap kamu dan secangkir tehmu dalam dalam. Dan merasa betapa menyesal dulu belum sempat mengatakan padamu bahwa aku senang melihatmu berbicara banyak dengan mata berbinar dan rona bahagia di pipimu. Dan membiarkanku untuk menjadi pendengar, karena ceritaku tidak lebih penting dari dirimu dan cerita ceritamu.
“Minggu depan, kamu mau datang sama siapa? Sudah ada teman?” tanyamu. Memecah keheningan. Memalingkan tangan dan matamu dari secangkir teh dinginmu.
“Sama Tatya.”
“Pacarmu?”
Aku mengangguk. Pelan. Entah karena apa.
“Selamat ya.”
“Buat apa?”
“Tatya. Cantik.” Sambil kamu tersenyum dan meneguk kecil teh mu yang sudah mendingin sedari tadi.
Sambil kamu tidak tahu bahwa kamu masih sama cantiknya seperti saat pertama kali aku mengatakan kepadamu bahwa kamu cantik. Yang mungkin juga untuk terakhir kalinya.
Betapa menyesal aku tidak pernah mengatakannya lagi padamu. Setiap hari. Kalau bisa setiap saat aku melihatmu dari jauh. Saat kamu tertawa dengan teman temanmu, saat kamu makan, saat kamu tertidur di kelas, atau saat kamu sedang tidak melakukan apa apa.
Dan lebih menyesalnya aku ketika tidak berusaha mencegahmu yang saat itu meminta selesai dari hubungan ini, tanpa berusaha sedikitpun mengatakan apa yang kamu ingin dengar dariku, apa yang kamu tidak pernah dengar dariku. Tanpa aku berpikir apakah saat itu kamu berusaha mengujiku, atau benar benar ingin selesai. Boleh aku beranggapan kamu mengujiku? Dan aku tidak lolos dalam ujianmu? Boleh aku beranggapan sampai saat ini kamu juga mengujiku?
In your mind, Ray. Kataku pada diriku sendiri.
“Kamu juga.”
“Buat?”
“Pernikahanmu minggu depan.”
Kamu tersenyum. Senyum yang dulu buatku.
Please, Kin. May I know your script at that time? And re-act my act?
KINZA
If only you knew what i've scripted for you last 2 years, Ray.