“Saya Tuan?!” seruku terkejut ketika mendengar perintah Tuanku.
“Ya, kamu.” Jawab Tuanku tenang. Dia begitu tenang, aku dan kamu tidak akan pernah tahu apa yang ada dibalik rencana-rencanaNya.
“Ba.. baik Tuan.” Putusku, aku membungkukkan badan, pergi, menghilang di tengah langit.
Wanita manis itu mengenakan mukenanya. Dia menggelar sajadahnya yang sudah terlalu tipis, gambarnya pun tidak jelas, entah masjid atau hanya gambar-gambar layaknya batik modern, aah… entahlah! Mungkin karena terlalu sering dipakai atau memang itu hanya sebuah sajadah murah, aku tidak tahu. Yang jelas, sajdah itu yang mengantarnya menuju Surga.
Adzan sudah bergema sejak pukul 04.30 pagi tadi. Embun masih basah. Brr… aku saja dibuat kedinginan oleh udara dini hari ini. Namun, wanita itu tetap bersikukuh melaksanakan ibadah solat subuhnya. Aku berharap, bukan dia….
Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh, Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.
Ah, aku terkejut, aku terjaga sekarang, mendengar salam dari wanita tadi, pertanda dia sudah selesai menunaikan ibadahnya. Aku melihat jam dinding, fiuh.. untung saja, waktu masih menunjukkan pukul 04.39.
Aku terjaga kini, hanya bisa diam, melihat dia mengambil Alqurannya, Alquran kecil yang sudah kumal. Aku hanya bisa diam, mendengar ayat-ayat suci Alquran keluar dari mulutnya.
Hah… aku menghela nafas panjang, panjaanngg… sekali. Aku tidak tega, tidak tega melakukan tugas dari Tuanku. Aku ragu untuk melakukan ini. Namun, aku yakin, apa yang diperintahkan oleh Tuanku, adalah yang terbaik, bagi wanita ini, maupun wanita-wanita dan pria-pria yang lain, yang sedang melakukan hal yang sama, ataupun yang saat ini masih terbuai mimpi.
Tanpa sadar, waktu berjalan begitu cepat, benar-benar cepat, sehingga menunjukkan pukul 05.53. aku membenarkan posisi dudukku. Seperti kata Tuanku, aku hanya diperbolehkan membenarkan posisi dudukku sedikiitt… saja, benar-benar sedikit. Aku menggeser pantatku.
Wanita itu terhenyak, kalap. Dan kulihat semua orang juga begitu, kalap, dan segera menghentikan semua aktivitasnya, makan, mandi, bersolek, semua dihentikan. Mengejar waktu. Aku terus menggeser posisiku. Tidak ada wanita yang sempat memulaskan bedak di pipinya. Tidak ada pria yang sok-sokan tidak takut, semua takut. Termasuk wanita itu.
Dia berlari melalui pintu belakang, berlari terus berlari. Tanpa tahu apa yang akan terjadi. Hah... aku menghela nafas panjang.
Seorang ayah menarik anak bungsunya. Memaksa anak bungsunya berjalan terseret, meski dihadang kursi-kursi ruang tamu. Sementara anak tengah ayah itu, sudah di halaman, berteriak-teriak, supaya Sang Ayah segera keluar. Kucing-kucing mengeong, berlari sekuat tenaga pula. Mungkin semut-semut, tikus-tikus di got, juga begitu.
Sang Ayah dan anak bungsunya berhasil keluar. Anak tengah sadar, di mana kakaknya? Sementara ia berpikir seperti itu, dari garasi, muncul kepala, dan tangan, dengan badan tidak terlihat, masih di dalam, yang ia kenal. Kakaknya. Anak sulung itu tidak apa-apa, hanya kakinya sedikit tertimpa motor. Anak sulung berusaha keluar, hingga akhirnya berhasil.
Berhenti. Tenang kembali. Hanya ada engahan mereka. Seakan detak jantung berhenti. Semua berdoa sambil menata kehidupan dalam tubuh, kehidupan alat pencernaan, alat pernapasan, alat untuk berpikir. Seakan itu semua di-reset. Hanya dalam jangka waktu 57 detik.
Ayah tampaknya mengetahui apa yang terjadi. Sementara ketiga anknya hanya berpikir, Gempa.
Listrik padam. Mereka hanya bisa mendengarkan radio. Tak dinyana-nyana, gempa tadi pagi menelan banyak korban, merubuhkan beratus-ratus bahkan beribu-ribu rumah. Ratusan orang luka. Ketiga anak Ayah menelan ludah. Dalam hati mereka masing-masing mereka bersyukur, mengucap hamdallah rumah mereka masih utuh.
Mereka semua segera menekan-nekan tombol seluler mereka, menghubungi kerabat masing-masing, ingin mengetahui keadaannya.
Wanita itu tersungkur. Diam. Terlentang di halaman belakang rumahnya sendiri. Matanya terpejam. Jantungnya tak berdetak.
Dia berlari menyelamatkan diri. Puing rumah tetangganya terlempar, tak kuasa menahan perintah Tuanku. Menimpa kepalanya. Terseungkur. Jatuh. Tak berdetak.
Semua atas perintah Tuanku.
“Apa?! Masa?!” teriakan terkejut anak sulung ayah tadi. Seketika anak sulung itu menangis tersedu-sedu. Sampai wajahnya merah, cairan hidungnya pun keluar semua.
Bagaimana tidak, sahabatnya meninggal akibat bencana tadi pagi, pukul 05.53. Katanya, sahabatnya meninggal saat berusaha menyelamatkan diri. Terkena puing rumah tetangganya.
Yaah… aku hanya bergumam, namanya juga bencana.
Aku tersenyum. Mungkin besok, atau lusa, atau minggu depan aku akan menggeser posisi dudukku. Di sini, di
0 comments