Sebelumnya: Indochina Trip (5Countries 10Days): Prolog
Day 1, 30 March 2015
Seperti yang sudah saya tulis di post sebelumnya, tanggal 30 Maret – 8 April kemarin saya akhirnya berhasil ‘menaklukkan’ trayek berbentuk seperti buah pisang dengan dua orang teman saya, Hanief dan Hendro. Perjalanan kami dimulai dari Singapore dengan modal 120ribu rupiah saja untuk tiket pesawat.
Seperti yang sudah saya tulis di post sebelumnya, tanggal 30 Maret – 8 April kemarin saya akhirnya berhasil ‘menaklukkan’ trayek berbentuk seperti buah pisang dengan dua orang teman saya, Hanief dan Hendro. Perjalanan kami dimulai dari Singapore dengan modal 120ribu rupiah saja untuk tiket pesawat.
Kebodohan pertama kami dan super fatal adalah; kami salah lihat jam! Kami tertukar antara AM dan PM, kami mengira kami akan terbang pukul 5 subuh, ternyata jadwal penerbangan kami adalah pukul 5 sore. Kesuperbodohan itu baru kami sadari H-seminggu keberangkatan. Maka terjadilah sedikit kepanikan yang menjadikan itinerary kami sebelumnya menjadi lebih organik dan fleksibel.
Sambil menunggu boarding, saya dan Hanief yang kebetulan memiliki teman di sana, sama sama ex kantor kami sebelumnya, (sebetulnya banyak sekali sih anak anak arsitek yang bekerja di sana), sudah menghubungi Richard yang bekerja di sebuah konsultan desain arsitektur ternama di Singapura (it's WOHA Architects!). Richard menyarankan untuk menginap di Hongkong Street yang dekat dengan kantornya dan dekat dengan Clarke Quay, Bugis, dan cukup mudah mencapainya.
Kami bertiga menyetujuinya, kami memang tidak berencana lama di Singapura, saya pribadi sudah beberapa kali mengeksplorasi negeri Merlion tersebut, dan kami bertiga memang sewaktu kuliah sempat melaksanakan Kuliah Kerja Arsitektur di Singapura selama satu minggu. Sebelumnya, Richard menyarankan untuk menginap di ABC Backpacker Hostel, namun ketika melihat book nya penuh, kemudian Richard menyarankan di Rucksack Inn hostel yang masih terletak di Hongkong Street.
Kami tiba di Singapore sudah cukup malam, kira kira pukul 8 atau 9 an, saya agak lupa. Kemudian kami segera naik MRT menuju Hongkong Street yang ternyata cukup jauh dan berpindah pindah. Namun ternyata setelah bertemu Richard, kata Richard, sebenarnya jaraknya cukup dekat hanya saja tidak ada MRT yang direct menuju Hongkong Street.
Begitu keluar dari MRT, dari kejauhan saya melihat bangunan yang saya ingat betul terletak di sebelah kantor Richard karena saya sudah pernah berkunjung ke sana sebelumnya, Hendro dan Hanief belum. Saya langsung mengajak mereka ke sana, kemudian kami baru sadar tidak tahu harus menghubungi Richard melalui apa karena tidak ada wifi. Saya berusaha mengintip kantor Richard, tapi karena sudah malam dan gelap, saya malah sepintas melihat bayangan sekelompok orang sedang meeting. Ya masak mau ketuk pintu gitu malem malem?
Begitu keluar dari MRT, dari kejauhan saya melihat bangunan yang saya ingat betul terletak di sebelah kantor Richard karena saya sudah pernah berkunjung ke sana sebelumnya, Hendro dan Hanief belum. Saya langsung mengajak mereka ke sana, kemudian kami baru sadar tidak tahu harus menghubungi Richard melalui apa karena tidak ada wifi. Saya berusaha mengintip kantor Richard, tapi karena sudah malam dan gelap, saya malah sepintas melihat bayangan sekelompok orang sedang meeting. Ya masak mau ketuk pintu gitu malem malem?
Hongkong Street pagi hari |
Kami berkali kali menelusuri jalan yang tidak panjang tersebut untuk mencari Rucksack Inn, dan tidak ketemu. Bahkan beberapa kali menelusuri gang gang nya. Kami pun menyerah dan memutuskan untuk makan di Central Mall, tempat MRT kami keluar tadi. Kalau tidak salah malam sudah hampir menginjak pukul 10 atau 11, cukup susah menemukan makanan Singapura yang masih buka di situ. Kami memutuskan makan (drum roll please) Burger King. Hahaha. Harganya toh terjangkau kok, saya hanya menghabiskan 3,9SGD sudah dengan minum.
Setelah makan, malam semakin malam, kami yang tidak kunjung menemukan RuckSack Inn menemukan Bunc-Radius-Hostel yang lain di dekat Hongkong Street, saya pernah menginap di Bunc tetapi bukan yang disitu, tapi yang di Little India, Bunc yang di sini terlihat lebih kecil, kami tanya harganya 30SGD. Kami ragu ragu, kemudian kami masuk lagi ke Hongkong Street dan menemukan City Backpacker Hostel 26SGD, letaknya tepat di depan kantor WOHA nya Richard, kami memutuskan untuk menginap di situ dan meninggalkan RuckSack Inn. Kami belum booking kok, jadi tidak apa apa.
Setelah masuk hostel dan mendapatkan wifi, Hanief segera menghubungi Richard dan kami bertiga pun menemui Richard. Kami diajak Richard berjalan jalan ke arah Clark Quay berjalan kaki sampai berakhir di Raffles Place MRT Station. Karena kami berempat basic nya sama sama arsitektur, jadilah terjadi bertukar cerita dan dongeng perihal arsitektur.
Konon, Clarke Quay itu merupakan kawasan heritage yang dulu sempat mati dan hampir dihancurkan. Kemudian pemerintah Singapura mengadakan sayembara untuk melakukan redesain kawasan Clarke Quay. Maka jadilah Clarke Quay yang sekarang, yang justru menjadi pusat night life nya Singapura. Bagus sih memang, kawasan heritage tepi sungai dengan waterfront yang cantik, ditambah dengan 'payung' raksasa nya yang sudah menjadi landmark Clarke Quay.
Ruko ruko dan tenant di dalamnya pun berupa bangunan heritage yang sudah dicat warna warni dan diperbolehkan menambah kaca untuk etalase atau bagian dari cafe/bar nya, dengan catatan tidak merusak bangunan lama.
Ruko ruko dan tenant di dalamnya pun berupa bangunan heritage yang sudah dicat warna warni dan diperbolehkan menambah kaca untuk etalase atau bagian dari cafe/bar nya, dengan catatan tidak merusak bangunan lama.
Payung payung raksasa di antara jalan |
Yang lubang lubang itu sistem penghawaan buat area Clarke Quay dan iya lho, dingin, padahal itu bukan AC tapi hanya menyalurkan angin dari luar |
Ketika kami menyusuri Clarke Quay dan tepian sungainya, terlihat hingar bingar bule maupun orang orang Singapura yang sedang asik minum, joget, dan mendengarkan musik keras keras terutama di jembatannya. Setelah melihat lihat Clarke Quay kami menyusuri jalan dan menuju Raffles Place. Keunikan Raffles Place MRT Station ini adalah, bangunannya masih heritage dan terletak kembar di tengah tengah plaza terbuka berupa rumput hijau di antara bangunan bangunan tinggi perkantoran di sekitarnya.
Jadi ceritanya, dulu ini adalah bangunan heritage yang 'dilepas' kemudian 'dipasang' kembali untuk fasad MRT station. Oh ya, jalur MRT di kawasan ini sampai empat jalur, hal ini mengakibatkan tidak boleh ada basement untuk kawasan perkantoran ini. Kami juga melewati beberapa bangunan yang didesain oleh Ken Yeang yang konon pada masanya begitu hip dan keren. Sampai sekarang masih terlihat keren sih, hanya saja terlalu 'huge' dan 'massive'.
ini dia Raffles Place, MRT station nya yang putih kecil di tengah itu, saya nggak berhasil memotret dengan baik karena sudah terlalu malam source |
Saya sendiri pernah melakukan trip arsitektur bersama sama dengan Archinesia dengan salah satu rute yang serupa, rupanya kawasan Clark Quay sampai Raffles Place ini merupakan salah satu kawasan yang memiliki nilai arsitektur cukup tinggi. Kami belajar cukup banyak di sini mengenai ruang terbuka, sejarah, konservasi bangunan lama, dan bahkan office tower.
Singapura malam cenderung lumayan sepi, menurut Richard, sekarang pemerintah Singapura sedang menggalakkan program agar warganya tidak over-worked dan mengurangi jam operasi MRT hanya sampai jam 11 malam. Kabarnya sih, hal ini tidak begitu berpengaruh, toh, warga Singapura tetap workaholic, Richard sendiri masih di kantor kan, sampai jam segitu. Haha. Mindblowing nya lagi, konon di Singapura tidak banyak tempat yang beroperasi 24 jam dikarenakan program tersebut. Hanya McD, KFC, dan atau minimart tertentu yang diizinkan beroperasi 24 jam, hanya sekitar 3 - 5 saja! Sudah termasuk McD Airport. Whoaa!
Setelah hampir menginjak tengah malam, kami kembali ke Hongkong Street. Richard pun kembali ke kantor, rupanya sudah biasa buat Richard menginap di kantor. Kehidupan pekerja di Singapura sepertinya begitu berat dan keras. Kami bertukar cerita banyak dengan Richard. Satu pertanyaan terakhir dari kami untuk Richard, RuckSack Inn di mana sih? Ternyata.... ada dan menyempil sangat kecil tulisannya pun kecil sampai hampir tidak terlihat beberapa ruko sebelum hostel kami. Hahaha. RuckSack Inn lebih bagus daripada hostel kami, dan kata Richard pun juga. Apaboleh buat sudah terlanjur.
Kami bertiga pun kembali ke hostel dan beristirahat untuk mempersiapkan diri berjalan lagi besok karena kami berencana hanya satu malam saja di Singapura untuk besok melanjutkan perjalanan menuju Malaka, Malaysia.
Terimakasih Richard buat obrolan seputar arsitektur dan jalan jalan nya.
Selanjutnya:
Indochina Trip (5Countries 10Days): Suatu Siang (yang Panjang) di Singapura
Indochina Trip (5Countries 10Days): Karma Malaka
Indochina Trip (5Countries 10Days): Such a Slow Day in Malacca
Indochina Trip (5Countries 10Days): Bangkok's Unpredictable Crowd
IndoChina Trip (5Countries 10Days): God is in Details
IndoChina Trip (5Countries 10 Days): Crowded yet Empty Cambodia
IndoChina Trip (5Countries 10Days): Mystical Sunrise in Angkor Wat
IndoChina Trip (5Countries 10Days): Last Stop: Ho Chi Minh City!
IndoChina Trip (5Countries 10 Days): Lovely Ho Chi Minh City
IndoChina Trip (5Countries 10Days): Epilog
Indochina Trip (5Countries 10Days): Suatu Siang (yang Panjang) di Singapura
Indochina Trip (5Countries 10Days): Karma Malaka
Indochina Trip (5Countries 10Days): Such a Slow Day in Malacca
Indochina Trip (5Countries 10Days): Bangkok's Unpredictable Crowd
IndoChina Trip (5Countries 10Days): God is in Details
IndoChina Trip (5Countries 10 Days): Crowded yet Empty Cambodia
IndoChina Trip (5Countries 10Days): Mystical Sunrise in Angkor Wat
IndoChina Trip (5Countries 10Days): Last Stop: Ho Chi Minh City!
IndoChina Trip (5Countries 10 Days): Lovely Ho Chi Minh City
IndoChina Trip (5Countries 10Days): Epilog
Addina Faizati
2 comments
Kami belum booking kok, jadi tidak apa apa.
ReplyDeleteyauda kalo tidak apa-apa ya gak papa din
hahahaha
foto hongkong stritnya sugab!
hahahaha dibahas!!
Deletemuucih mas hel!