City of The Fall

By addinaf - 7:15:00 PM


“Selamat pagi, Pak, persiapan untuk turun di stasiun pemberhentian terakhir.” Suara berat seorang pramugara kereta membangunkanku perlahan. Tergagap aku terbangun sambil tersenyum ringan pada pramugara itu. Mengernyipkan sedikit mataku, cepat cepat aku membangunkan orang yang terduduk tersandar di jendela kereta di sebelahku. kemudian melihat keadaan sekitar melalui jendela kereta. Masih gelap. Tentu saja, Lodaya Malam ini sampai di stasiun pemberhentian terakhir, kota tujuanku, pukul 03.47 subuh.
Bandung.
Hari ini hari terakhir tahun 2013. Tahun baru. Sepuluh tahun yang lalu. Setiap kembali ke kota ini, semua terasa dan terlihat masih sama bagiku. Aku selalu teringat kata kata mu mengenai kota ini. Entah yang sudah berapa tahun lalu kamu ucapkan secara spontan kepadaku. Entah apakah kamu masih mengingatnya atau tidak. Katamu, kota ini adalah kota yang tepat untuk terjatuh. Jatuh. Terjatuh entah mengenai apa, untuk apa, dan tentang apa.

"Jatuh? Jatuh apa? Jatuh cinta maksudmu?"
"Mmm.. terserah sih, boleh jatuh cinta, benci, jatuh beneran juga boleh." katamu sambil tersenyum dengan khas. Kemudian menyesap dalam dalam rokokmu.

Selanjutnya, pada malam malam berikutnya aku tinggal di kota ini, semua seolah berjalan seperti apa yang kamu bilang. Setiap sudut, setiap tempat, dan berbagai kejadian serta detail yang ada di kota ini, di kota mu, Bandung, mampu membuatku terjatuh. Terjatuh dalam apa saja.
Aku terjatuh cinta pada sudut sudut ruang kerjaku yang tanpa kubikel, yang terasa hangat meskipun tanpa sekat. Pada guyonan lawas teman teman kerja, yang meskipun itu tidak lucu, namun masih bisa ditertawakan bersama. Pada sahabat lama yang masih terus saling berkomunikasi. Pada kebiasaan kebiasaan dan kehidupan baru.  Dan kepada banyak hal yang terlalu rinci jika harus kujelaskan satu satu.

Aku terjatuh benci pada pagi dan malam malam dingin kota ini yang bisa mencapai 18 derajat. Pada rasa sepi ketika berjalan pulang menuju kamar kos 3x3 ku. Pada rasa rindu dengan orang rumah, dan orang orang terdekat di kota asalku. Pada rasa tidak tahu arah. Dan pada banyak hal yang aku tidak tahu apa dan mengapa.

"Kamu, berapa lama di sini?" tanyamu padaku dengan secangkir kopi hitam mu yang sudah separuh habis dan perlahan mendingin.
"Mm.. entah, sampai kontrak pekerjaan ini selesai mungkin?" jawabku ringan.

Kemudian pembicaraan pun mengalir. Mengalir di sisi sisi dinding bata yang terekspos di café kecil ini, di sela sela angin dingin malam kotamu. Bandung. Di antara dua pasang telinga. Dua pasang mata. Sampai aku tidak sadar, kemana ini semua akan membawa. Hingga kemudian rasa kopi hitammu terasa samar di bibirku.
Manis.
---
 “Tahun baru mau ke mana?” tanyamu padaku, mendatangi mejaku di kantor. Aku mendongak, mengalihkan pandanganku dari laporan laporan yang harus aku tulis untuk proyek villa. Di sini, aku hanya dibayar sebagai arsitek per proyek. Tiap proyek selesai, selesailah kontrakku. Sudah bulan ke enam. Setengah tahun. Tidak terasa malam ini malam tahun baru.
Nggak tahu.” Jawabku singkat. Aku memang tidak tahu. Bukan tipeku untuk merayakan tahun baru di tengah keramaian orang orang, berhiruk pikuk dengan kembang api, manusia yang bersenang senang di malam hari, bermacet macet, atau melihat live music di jalanan seperti apa yang sudah disediakan pemerintah kota ini.
“Mau ke Kedai Kopi, ngopi bentar, habis itu kita yah nonton film apa main UNO di rumah aku aja, mau?” lanjutnya. Masih tetap berdiri di sebelahku dengan ekspresi nya yang biasa biasa saja.
Aku mengangguk begitu saja. Terlarut pada pesonanya. Yang entah sejak kapan aku mampu menangkap feromon pesonanya yang bisa jadi terlalu samar untuk orang orang lain. Dia, single.
“Sebentar, habis aku menyelesaikan laporan jam kerja ku bulan ini, boleh?”
“Santai.” Jawabnya, kemudian melenggang kembali di balik komputernya.
Laki laki ini, laki laki yang paling dekat denganku di enam bulan terakhirku di tahun ini sekaligus yang terdekat denganku di kota ini, di kotanya. Bandung. Laki laki dengan kulit sawo matang, badan kurus, tinggi, dengan sedikit kumis tipis di atas bibirnya yang mulai menghitam akibat kebiasaannya merokok dan minum kopi setiap hari. Satu hari bisa enam batang rokok, dan 3 hingga 5 gelas kopi masuk dalam tubuhnya. Laki laki dengan profesi arsitek di kantor ini. Arsitek tetap, bukan arsitek bantu seperti aku yang hanya dicari ketika proyek benar benar butuh bantuan dan kurang orang. Sudah tahun ketiganya bekerja di biro arsitek ini.
Laki laki ini yang secara tidak langsung menjadi mentorku di sini, selama aku menjadi arsitek bantu untuk sebuah proyek villa di daerah Dago Pakar atas sana. Mengajarkanku standar desain dan ciri khas biro ini, agar tidak terlalu banyak revisi di sana sini dan pekerjaanku akan lebih cepat selesai.
Ini hari hari terakhir ku di kantor ini, dan juga hari terakhir di tahun ini. Laki laki ini juga yang akan menemaniku.
Kami berdua mengendarai sepeda motor bebeknya ke arah rumahnya di Bandung daerah agak selatan, bukan di kawasan mahasiswa seperti Dago. Aku kurang paham apa nama daerahnya, sekitar 20 menit dari Simpang Dago. Sore ini cukup ramai dan macet, hal inilah yang aku paling tidak suka dari perayaan perayaan semacam malam tahun baru. I’m so not into this kind of party and crowd.
            “Memangnya di rumah ada siapa aja?” tanyaku setengah berteriak di tengah keramaian dan kemacetan Bandung dari balik punggungnya.
            “Nggak ada siapa siapa. Lagi pada keluar tahun baruan masing masing.”
            Dahiku sedikit berkerut. Jadi, kami berdua akan benar benar berdua saja semalaman?

Setelah mampir minum kopi sebentar untuk menuruti tuntutan kafein dari dalam tubuhnya, kami membeli makan di warteg untuk dibawa pulang untuk makan malam di rumah.
Rumahnya tidak terlalu besar, tidak juga terlalu sempit. Benar benar sepi dan benar benar tidak ada orang sama sekali. Hanya terdengar suara tawa kami berdua bermain UNO cards maupun UNO Stacko. Dan terkadang suara deru sepeda motor melewati jalan di depan rumah.
Setelah kenyang makan, kami bermain UNO hingga hampir pukul sepuluh malam sampai capek tertawa. Dan berakhir menonton film di DVD rumahnya. Kami sudah tidak begitu peduli film apa dan jalan cerita seperti apa yang sedang diputar. Malam semakin larut. Pergantian tahun sebentar lagi. Lagi lagi, rasa kopi hitamnya mulai terasa samar di bibirku.
---
"Kamu sadar nggak sih, kalau sebentar lagi aku bakal pergi ninggalin kota ini, ninggalin kamu?" tanyaku pada kamu. Kamu yang sudah membuatku terjatuh. Terjatuh di kota mu. Bandung. Kamu sendiri kan yang mengatakan padaku bahwa kota ini memang kota yang tepat untuk terjatuh? You were right, honey.
"Hmm.." sahutmu santai lalu menyalakan rokok di bibirmu. Mengenakan kembali kemeja flannel birumu. Kemejamu yang wangi, wangi oleh bau khas tubuhmu yang aku yakin akan selalu aku rindukan. Bau kopi hitam dan rokokmu.
"Minggu depan kontrak pekerjaanku selesai. Proyek villa di Dago Pakar sudah selesai, dan aku harus kembali ke kota ku. Ke Jogja. Kita gimana?" tanyaku lagi padamu. Merajuk. Merajuk pada orang yang sudah membuatku terjatuh. Terjatuh terlalu jauh.
Kamu diam. Memberikanku helai helai bajuku lalu mengantarku pulang dengan sepeda motor bebekmu. Matahari sudah mulai panas, meskipun jalanan masih terasa sepi. Orang orang masih tertidur lelah dengan euphoria semalam.
Tahun sudah berganti.
---
"Ayah Bunda, memangnya kita mau ke mana sekarang?" tanya bocah laki laki lugu di kursi belakang mobil sewaan yang sengaja aku sewa khusus untuk berlibur di akhir tahun. Di sini, di kota ini. Aku melirik melalui spion lalu tersenyum ke arah wanita cantik di kursi penumpang depan yang dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini sudah menyelamatkan hidupku.
"Kita mau ke tempat sahabat Ayah waktu masih muda, sayang. Nanti kita akan malam tahun baruan menginap di rumah sahabat Ayah sambil bikin ayam dan sate ayam, mau?" sahutnya sambil mengacak pelan rambut bocah laki laki lugu itu. Bocah laki laki lugu yang matanya menyerupai mata perempuan di sisiku, dan dengan rambut ikal sepertiku. Laki laki yang paling kusayangi. Meskipun hanya nomor tiga.
Aku memarkirkan mobil sewaan tadi di depan sebuah rumah yang masih aku hafal benar arah jalannya. Di tengah kebutaan arahku kira kira hampir sepuluh tahun yang lalu. Tahun dimana aku terjatuh. Terjatuh terlalu jauh dengan kota ini. Terjatuh terlalu dalam pada unsur kota ini.
Rumahnya kira kira 20 menit dari Simpang Dago menggunakan kendaraan pribadi, tanpa macet. Hari sudah mulai menjelang pukul sebelas. Bandung masih belum semacet kira kira tujuh hingga delapan jam ke depan. Aku sudah melewati sepuluh kali tahun baru yang berbeda dan masih saja mengingat kejadian tahun baru ku di rumah ini. Kira kira sepuluh tahun yang lalu, ketika aku terjatuh di kota ini.
Kemudian aku memencet bel yang terdapat di pagar depan rumah itu. Rumah yang tidak terlalu besar, namun juga tidak terlalu kecil. Terlihat beberapa perlatan memanggang dan kursi halaman sudah dipasang di depan rumah. Persiapan untuk melewatkan tahun baru kami nanti.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita cantik keluar. Mengenakan jilbab. Cantik. Tidak kalah cantik dengan wanita yang tadi duduk di sisi depan penumpang di mobilku. Disusul oleh seorang laki laki yang seumuran denganku masih tampak sama seperti yang terakhir kali aku lihat. Dengan kumis tipis yang sama, masih dengan warna kulit yang sama, hanya terlihat sedikit lebih gendut dari yang dulu, dengan bibir yang masih sama menghitamnya. Kudengar, kamu sudah menghentikan total aktivitas merokokmu?
Laki laki tadi terlihat cocok dengan wanita berjilbab itu. Serasi. Shit. Jangan pernah sedikitmu kamu merasa menyesal, Reza! Kutukku pada diriku sendiri. Aku kemudian mengajak istri dan laki laki yang kusayangi nomor tiga itu turun dari mobil.
"Rio, kenalin, ini Om Adi. Sahabat dekat Ayah waktu Ayah pernah kerja di sini dulu."
---
"Siapa laki laki pertama di dunia ini yang kamu sayang, Za?"
"Ayahku."
"Yang kedua?"
"Kamu, Adi."
Jawabku kepada laki laki berkumis tipis, asap rokok terlihat  mengepul di sekitar wajahnya, dan dengan segelas kopi hitam di tangannya.


Addina Faizati
Bandung, 31 Desember 2013
ditulis untuk mengikuti lomba menulis cerpen kilat oleh Bentang Pustaka

  • Share:

You Might Also Like

3 comments

  1. waaaaaah, awalnya kirain cewek mbak, ternyata namanya Reza, duh~ haha
    keren, semoga menang mbak! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha cepet banget udah ada komen :3
      amiiin makasih kiii :3

      Delete
  2. Cerita arsi, terinspirasi dari pas di Bandung ya? :D
    (sok nebak)

    ReplyDelete