“Selamat
pagi, Pak, persiapan untuk turun di stasiun pemberhentian terakhir.” Suara berat
seorang pramugara kereta membangunkanku perlahan. Tergagap aku terbangun sambil
tersenyum ringan pada pramugara itu. Mengernyipkan sedikit mataku, cepat cepat aku
membangunkan orang yang terduduk tersandar di jendela kereta di sebelahku. kemudian
melihat keadaan sekitar melalui jendela kereta. Masih gelap. Tentu saja, Lodaya
Malam ini sampai di stasiun pemberhentian terakhir, kota tujuanku, pukul 03.47
subuh.
Bandung.
Hari
ini hari terakhir tahun 2013. Tahun baru. Sepuluh tahun yang lalu. Setiap
kembali ke kota ini, semua terasa dan terlihat masih sama bagiku. Aku selalu teringat
kata kata mu mengenai kota ini. Entah yang sudah berapa tahun lalu kamu ucapkan
secara spontan kepadaku. Entah apakah kamu masih mengingatnya atau tidak. Katamu,
kota ini adalah kota yang tepat untuk terjatuh. Jatuh. Terjatuh entah mengenai
apa, untuk apa, dan tentang apa.
"Jatuh?
Jatuh apa? Jatuh cinta maksudmu?"
"Mmm..
terserah sih, boleh jatuh cinta, benci, jatuh beneran juga boleh." katamu
sambil tersenyum dengan khas. Kemudian menyesap dalam dalam rokokmu.
Selanjutnya,
pada malam malam berikutnya aku tinggal di kota ini, semua seolah berjalan
seperti apa yang kamu bilang. Setiap sudut, setiap tempat, dan berbagai kejadian
serta detail yang ada di kota ini, di kota mu, Bandung, mampu membuatku
terjatuh. Terjatuh dalam apa saja.
Aku
terjatuh cinta pada sudut sudut ruang kerjaku yang tanpa kubikel, yang terasa hangat
meskipun tanpa sekat. Pada guyonan lawas teman teman kerja, yang meskipun itu
tidak lucu, namun masih bisa ditertawakan bersama. Pada sahabat lama yang masih
terus saling berkomunikasi. Pada kebiasaan kebiasaan dan kehidupan baru. Dan
kepada banyak hal yang terlalu rinci jika harus kujelaskan satu satu.
Aku
terjatuh benci pada pagi dan malam malam dingin kota ini yang bisa mencapai 18
derajat. Pada rasa sepi ketika berjalan pulang menuju kamar kos 3x3 ku. Pada
rasa rindu dengan orang rumah, dan orang orang terdekat di kota asalku. Pada
rasa tidak tahu arah. Dan pada banyak hal yang aku tidak tahu apa dan mengapa.
"Kamu,
berapa lama di sini?" tanyamu padaku dengan secangkir kopi hitam mu yang
sudah separuh habis dan perlahan mendingin.
"Mm..
entah, sampai kontrak pekerjaan ini selesai mungkin?" jawabku ringan.
Kemudian
pembicaraan pun mengalir. Mengalir di sisi sisi dinding bata yang terekspos di café
kecil ini, di sela sela angin dingin malam kotamu. Bandung. Di antara dua
pasang telinga. Dua pasang mata. Sampai aku tidak sadar, kemana ini semua
akan membawa. Hingga kemudian rasa kopi hitammu terasa samar di bibirku.
Manis.
---
“Tahun baru mau ke mana?” tanyamu padaku, mendatangi mejaku di kantor. Aku mendongak, mengalihkan
pandanganku dari laporan laporan yang harus aku tulis untuk proyek villa. Di
sini, aku hanya dibayar sebagai arsitek per proyek. Tiap proyek selesai,
selesailah kontrakku. Sudah bulan ke enam. Setengah tahun. Tidak terasa malam
ini malam tahun baru.
“Nggak tahu.” Jawabku singkat. Aku memang
tidak tahu. Bukan tipeku untuk merayakan tahun baru di tengah keramaian orang
orang, berhiruk pikuk dengan kembang api, manusia yang bersenang senang di
malam hari, bermacet macet, atau melihat live music di jalanan seperti apa yang
sudah disediakan pemerintah kota ini.
“Mau
ke Kedai Kopi, ngopi bentar, habis itu kita yah nonton film apa main UNO di rumah
aku aja, mau?” lanjutnya. Masih tetap berdiri di
sebelahku dengan ekspresi nya yang biasa biasa saja.
Aku mengangguk begitu saja. Terlarut pada
pesonanya. Yang entah sejak kapan aku mampu menangkap feromon pesonanya yang bisa
jadi terlalu samar untuk orang orang lain. Dia, single.
“Sebentar,
habis aku menyelesaikan laporan jam kerja ku bulan ini, boleh?”
“Santai.”
Jawabnya, kemudian melenggang kembali di balik komputernya.
Laki laki ini, laki laki yang paling dekat denganku
di enam bulan terakhirku di tahun ini sekaligus yang terdekat denganku di kota
ini, di kotanya. Bandung. Laki laki dengan kulit sawo matang, badan kurus,
tinggi, dengan sedikit kumis tipis di atas bibirnya yang mulai menghitam akibat
kebiasaannya merokok dan minum kopi setiap hari. Satu hari bisa enam batang
rokok, dan 3 hingga 5 gelas kopi masuk dalam tubuhnya. Laki laki dengan profesi
arsitek di kantor ini. Arsitek tetap, bukan arsitek bantu seperti aku yang
hanya dicari ketika proyek benar benar butuh bantuan dan kurang orang. Sudah tahun
ketiganya bekerja di biro arsitek ini.
Laki laki ini yang secara tidak langsung menjadi
mentorku di sini, selama aku menjadi arsitek bantu untuk sebuah proyek villa di
daerah Dago Pakar atas sana. Mengajarkanku standar desain dan ciri khas biro
ini, agar tidak terlalu banyak revisi di sana sini dan pekerjaanku akan lebih
cepat selesai.
Ini hari hari terakhir ku di kantor ini, dan juga
hari terakhir di tahun ini. Laki laki ini juga yang akan menemaniku.
Kami berdua mengendarai sepeda motor bebeknya ke arah
rumahnya di Bandung daerah agak selatan, bukan di kawasan mahasiswa seperti
Dago. Aku kurang paham apa nama daerahnya, sekitar 20 menit dari Simpang Dago. Sore
ini cukup ramai dan macet, hal inilah yang aku paling tidak suka dari perayaan
perayaan semacam malam tahun baru. I’m so not into this kind of party and
crowd.
“Memangnya di rumah
ada siapa aja?” tanyaku setengah berteriak di tengah keramaian dan
kemacetan Bandung dari balik punggungnya.
“Nggak ada siapa
siapa. Lagi pada keluar tahun baruan masing masing.”
Dahiku sedikit
berkerut. Jadi, kami berdua akan benar benar berdua saja semalaman?
Setelah mampir minum kopi sebentar untuk menuruti
tuntutan kafein dari dalam tubuhnya, kami membeli makan di warteg untuk dibawa
pulang untuk makan malam di rumah.
Rumahnya tidak terlalu besar, tidak juga terlalu
sempit. Benar benar sepi dan benar benar tidak ada orang sama sekali. Hanya terdengar
suara tawa kami berdua bermain UNO cards maupun UNO Stacko. Dan terkadang
suara deru sepeda motor melewati jalan di depan rumah.
Setelah kenyang makan, kami bermain UNO hingga
hampir pukul sepuluh malam sampai capek tertawa. Dan berakhir menonton film di
DVD rumahnya. Kami sudah tidak begitu peduli film apa dan jalan cerita seperti
apa yang sedang diputar. Malam semakin larut. Pergantian tahun sebentar lagi. Lagi
lagi, rasa kopi hitamnya mulai terasa samar di bibirku.
---
"Kamu
sadar nggak sih, kalau sebentar lagi aku bakal pergi ninggalin kota ini,
ninggalin kamu?" tanyaku pada kamu. Kamu yang sudah membuatku terjatuh. Terjatuh
di kota mu. Bandung. Kamu sendiri kan yang mengatakan padaku bahwa kota ini
memang kota yang tepat untuk terjatuh? You
were right, honey.
"Hmm.." sahutmu santai lalu
menyalakan rokok di bibirmu. Mengenakan kembali kemeja flannel birumu. Kemejamu
yang wangi, wangi oleh bau khas tubuhmu yang aku yakin akan selalu aku rindukan.
Bau kopi hitam dan rokokmu.
"Minggu
depan kontrak pekerjaanku selesai. Proyek villa di Dago Pakar sudah selesai, dan
aku harus kembali ke kota ku. Ke Jogja. Kita gimana?" tanyaku lagi padamu.
Merajuk. Merajuk pada orang yang sudah membuatku terjatuh. Terjatuh terlalu
jauh.
Kamu
diam. Memberikanku helai helai bajuku lalu mengantarku pulang dengan sepeda
motor bebekmu. Matahari sudah mulai panas, meskipun jalanan masih terasa sepi. Orang
orang masih tertidur lelah dengan euphoria semalam.
Tahun
sudah berganti.
---
"Ayah
Bunda, memangnya kita mau ke mana sekarang?" tanya bocah laki laki lugu di
kursi belakang mobil sewaan yang sengaja aku sewa khusus untuk berlibur di
akhir tahun. Di sini, di kota ini. Aku melirik melalui spion lalu tersenyum ke
arah wanita cantik di kursi penumpang depan yang dalam kurun waktu enam tahun
terakhir ini sudah menyelamatkan hidupku.
"Kita
mau ke tempat sahabat Ayah waktu masih muda, sayang. Nanti kita akan malam
tahun baruan menginap di rumah sahabat Ayah sambil bikin ayam dan sate ayam,
mau?" sahutnya sambil mengacak pelan rambut bocah laki laki lugu itu. Bocah
laki laki lugu yang matanya menyerupai mata perempuan di sisiku, dan dengan
rambut ikal sepertiku. Laki laki yang paling kusayangi. Meskipun hanya nomor
tiga.
Aku
memarkirkan mobil sewaan tadi di depan sebuah rumah yang masih aku hafal benar
arah jalannya. Di tengah kebutaan arahku kira kira hampir sepuluh tahun yang
lalu. Tahun dimana aku terjatuh. Terjatuh terlalu jauh dengan kota ini.
Terjatuh terlalu dalam pada unsur kota ini.
Rumahnya
kira kira 20 menit dari Simpang Dago menggunakan kendaraan pribadi, tanpa
macet. Hari sudah mulai menjelang pukul sebelas. Bandung masih belum semacet
kira kira tujuh hingga delapan jam ke depan. Aku sudah melewati sepuluh kali tahun baru yang berbeda dan masih saja mengingat kejadian tahun baru ku di rumah ini. Kira kira sepuluh tahun yang lalu, ketika aku terjatuh di kota ini.
Kemudian
aku memencet bel yang terdapat di pagar depan rumah itu. Rumah yang tidak
terlalu besar, namun juga tidak terlalu kecil. Terlihat beberapa perlatan
memanggang dan kursi halaman sudah dipasang di depan rumah. Persiapan untuk
melewatkan tahun baru kami nanti.
Beberapa
saat kemudian, seorang wanita cantik keluar. Mengenakan jilbab. Cantik. Tidak kalah
cantik dengan wanita yang tadi duduk di sisi depan penumpang di mobilku. Disusul
oleh seorang laki laki yang seumuran denganku masih tampak sama seperti yang
terakhir kali aku lihat. Dengan kumis tipis yang sama, masih dengan warna kulit
yang sama, hanya terlihat sedikit lebih gendut dari yang dulu, dengan bibir
yang masih sama menghitamnya. Kudengar,
kamu sudah menghentikan total aktivitas merokokmu?
Laki
laki tadi terlihat cocok dengan wanita berjilbab itu. Serasi. Shit.
Jangan pernah sedikitmu kamu merasa menyesal, Reza! Kutukku pada
diriku sendiri. Aku kemudian mengajak istri dan laki laki yang kusayangi nomor
tiga itu turun dari mobil.
"Rio,
kenalin, ini Om Adi. Sahabat dekat Ayah waktu Ayah pernah kerja di sini
dulu."
---
"Siapa
laki laki pertama di dunia ini yang kamu sayang, Za?"
"Ayahku."
"Yang
kedua?"
"Kamu,
Adi."
Jawabku
kepada laki laki berkumis tipis, asap rokok terlihat mengepul di sekitar wajahnya, dan dengan segelas
kopi hitam di tangannya.
Addina Faizati
Bandung, 31 Desember 2013
ditulis untuk mengikuti lomba menulis cerpen kilat oleh Bentang Pustaka
3 comments
waaaaaah, awalnya kirain cewek mbak, ternyata namanya Reza, duh~ haha
ReplyDeletekeren, semoga menang mbak! :D
hahaha cepet banget udah ada komen :3
Deleteamiiin makasih kiii :3
Cerita arsi, terinspirasi dari pas di Bandung ya? :D
ReplyDelete(sok nebak)