"Kesederhanaan itu bukan ditandai dari ke-ada-an atau keberadaan, tapi dari ketiadaan atau ketidakberadaan."
Katamu, seharusnya hubungan itu seharusnya sederhana. Seperti sajak Sapardi Djoko Damono yang sudah termashyur. Sederhana. Sesederhana kata yang tidak sempat diucapkan kayu kepada api. Sesederhana isyarat awan kepada hujan.
Sederhana.
"Sederhana itu apa?" tanyaku. Ketika kamu mengungkapkan hal tersebut padaku. Pada suatu malam, saat kita berdua terduduk di warung makan kaki lima di tepi jalan ramai di kota ini. "Tempat makan kita ini, sederhana kan?"
Kamu menggelengkan kepalamu. "Ngg.. bukan, sayang." kamu tersenyum pelan, menyelipkan helai helai rambutku di belakang telingaku. Mengecup dahiku lembut. "Sederhana itu bukan berarti ada tidaknya sesuatu, tapi saat sesuatu itu tidak ada."
Katamu, aku ini perempuan sederhana. Aku mudah tersenyum, tertawa, bahagia. Apapun. Aku sederhana. Katamu. Sesederhana makan di warung kaki lima di dekat kampus kita. Sesederhana kamu datang dan berbincang bersama.
Katamu, seharusnya hubungan itu sederhana, kan?
Sampai akhirnya aku melihat perempuan dengan gincu merah, sepatu hak tinggi, dan dagu yang terangkat angkuh. Melenggang dengan lengan kalian yang saling terkait di sebuah pusat perbelanjaan di kota ini. Sekelebat aku teringat kalimat kalimat bodohmu tentang kesederhanaan. Teori ke-ada-tiada-an mu tentang sederhana.
Perempuan itu, sederhana?
"Kenapa kamu pergi tanpa sebelumnya mengecupku terlebih dahulu?" tanyaku padamu. Yang kamu jawab hanya dengan diam. Kamu diam. Lama.
Ketiadaanmu ini, sederhana?
Tanyaku padamu dalam diam. Masih gemetar tanganku dengan pisau dapur dengan simbah darah.
Mu.
Addina Faizati
terinspirasi dari bincang bincang siang
dengan beberapa teman di studio :)
anyway, Sederhana itu kompleks, bukan?
anyway, Sederhana itu kompleks, bukan?