Inverno |
Here I am in -1’C with snowy weather outside. I must say, this November - December is one of the hardest months for me since I’m staying here, in Milan. Probably my problems are nothing compare to yours, but, still, for me, these two months are really difficult.
To start everything, I’ll explain you how does it go with my life.
Mungkin ini akan menjadi satu post yang panjang, but, enjoy!
—
Semester ini saya mengambil 24 kredit kuliah, yaitu Final Synthesis Studio (18 kredit) sebagai mata kuliah wajib, dan Digital User Innovation sebagai mata kuliah pilihan pertama saya. Mungkin beberapa dari kalian sedikit bertanya-tanya, sudah semester 3 namun masih ada mata kuliah wajib (dan itu pun belum selesai)? Ya. Semester depan (semester 4) pun saya masih ada mata kuliah pilihan (6 kredit), workshop (6 kredit), internship (18 kredit), dan thesis tentu saja.
Sounds crazy, no?
Dan pilihan tersebut bukan karena saya malas atau saya gagal dalam mata kuliah tersebut di semester sebelumnya, tapi ya memang karena begitulah sistemnya.
Kemudian di semester ini saya memutuskan untuk mencicil internship per November. Which means, saya kuliah dan kerja (kalau sedang tidak ada kelas). Salah satu masalah besarnya adalah, semua porsi kuliah saya ada group-project. Hampir setiap hari saya harus bertemu dengan grup saya untuk berdiskusi dan mengerjakan project Final Synthesis Studio.
To make it more believable, di antara 18 kredit tadi, juga terselip workshop selama 3 minggu. Konsep workshop itu sendiri adalah, from 9am - 6pm (even more! until 9pm) setiap hari dan di akhir pekan ada delivery progress/project, atau bisa juga dibilang salah satu review atau point pengambilan grade untuk final grade.
I was so stress with my group’s first presentation. Bisa dibilang tidak bagus, mereka (professors) complain about the layout, the tone of voice, and the concept itself. I didn’t present it well as usual (in my opinion). Saya secara personal kurang suka cara profesor utama studio ini mengomentari suatu kekurangan. Beliau cenderung membuat kalimat yang kurang memotivasi dan membuat sedikit down. And this is for 18 credits for God’s sake.
Kemudian di saat saya sedang sangat down dan saya menyerah dengan role saya sebagai visualizer karena saya merasa teman-teman satu grup saya benar-benar berbeda taste dalam hal ini, saya mengalah, dan memilih tugas mengerjakan video di hampir setiap fase presentasi. Workshop selanjutnya pun tiba dengan profesor dari RCA (Royal College Academy), and I like him so much! Prof. Edelman seperti oase dari semua hal yang membuat saya down (grup, profesor, project, etc) dan saya merasa saya mampu menarik perhatian beliau ketika melakukan pitch. He even asked me where I am come from! I really (like, really) feel positive for that two weeks.
Walaupun beliau sangat gila bekerja dan memaksa kami untuk mengikuti workshop dari jam 9 sampai jam 9 (yes it was!) dan hampir tanpa coffee break for God’s sake! Istirahat makan siang jam 2 bahkan jam 3, and that’s all. Prototype session dengan beliau pun bisa dibilang berjalan lancar dan menyenangkan.
If you think, that wasn’t crazy enough, let me finish this.
Sampai suatu malam, sepulang dari workshop (ya di hari workshop), sekitar pertengahan November, saya pulang ke rumah dengan Najih karena kami mau makan malam bersama di rumah saya. Saya melihat semua flatmates dan landlord sedang seperti berbicara bersama di ruang makan. But, probably that wasn’t a serious thing.
Sampai akhirnya landlord mengetuk pintu kamar saya dan meminta saya untuk ikut ke ruang makan dengan mereka. Flatmate saya kemudian menjelaskan kepada saya dalam bahasa inggris tentang apa yang mereka diskusikan.
We are all need to move. There is a problem with the house, they want to sell this floor to other owner. We have time until 12th of December.
I don’t know what was in my mind at that time.
Setelah Najih bertanya-tanya sedikit tentang prosedur dan tanggal untuk pindah ke landlord saya, kami kembali ke kamar dan makan. I cried. A lot. I must say this. Mungkin beberapa dari kalian merasa permasalahan pindah rumah ini sederhana, but this wasn’t. Mencari rumah dengan harga yang sesuai kantong mahasiswa dan dekat dengan akses untuk menuju kampus bukan lah hal mudah. Terlebih karena kampus saya bukan di kampus pusat yang dekat dengan rektorat Politecnico, kampus saya terpisah, dan cukup tricky untuk mencari lokasi yang aksesibel untuk menuju rektorat (kampus pusat) dan kampus saya sendiri. Waktu yang saya miliki pun kurang lebih hanya dua minggu.
Saya sendiri baru menempati rumah ini dari bulan September, which means, baru sekitar 3 bulan saya di sini. It is so exhausted just to imagining I need to move all my stuffs. Bulan November - Desember juga merupakan bulan yang kritis untuk kami para pelajar. Final exam, final presentation, and so on. Ditambah lagi, saya sudah pindah rumah 3x selama hitungan 1,5 tahun di sini (click to see the story), and I don’t want to complain about this. Tapi kalau sudah begini, mungkin sudah saatnya untuk saya sedikit mengeluh mengenai hal ini. Saya sendiri merasa bukan saya yang picky, bukan saya yang salah, atau saya yang gampang merasa tidak nyaman dengan suatu rumah/suatu keadaan. Tapi ya, memang seperti saya harus pindah. Itu saja. I feel so tired.
Problem doesn’t stop there, hold on.
Internet rumah saya diputus. Saya tidak ada wifi. Jadi sampai di rumah saya mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugas, browsing, upload, atau sekedar mencari hiburan di internet, ditambah bagaimana saya bisa mencari rumah tanpa internet? Saya hanya mengandalkan kemampuan saya untuk bangun pagi agar bisa sampai di kampus sangat pagi untuk mencari-cari rumah sebelum kelas atau group working dimulai, karena mencuri waktu di tengah-tengah waktu kerja adalah mustahil buat saya.
But glad that I have him.
Najih membantu saya mencari rumah dan membantu mengontak dan membuat appointment untuk viewing. Entah sudah berapa puluh rumah yang kami usaha telepon, sms, whatsapp, message, dan berbagai macam cara. Sudah berapa banyak rumah yang kami viewing, dan hampir selalu saya ditolak. Yes, they rejected me. Dengan berbagai macam alasan, dari saya pelajar, stereotype pelajar yang cenderung lebih susah diatur, lebih jarang bersih-bersih, dan sebagainya. Alasan saya bukan Italian, dan bukan, atau tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Italia lebih menyakitkan buat saya. Saya sempat diiyakan oleh dua landlord, salah satu tidak menjawab message saya sampai satu minggu, yang lain setelah dua hari mengatakan bahwa saya tidak bisa berbahasa Italia, flatmate lain kurang setuju akan hal ini. Oh, wow.
I cried after those rejections.
Saya selalu menyempatkan diri untuk viewing rumah dari jam 7 malam hampir setiap hari untuk memastikan saya bisa pindah sebelum status saya ‘homeless’, dan saya harus meminta ijin tutor internship saya untuk pulang terlebih dahulu, dan mengerjakan pekerjaan dengan tekanan tinggi karena saya harus pulang cepat, dan pamit kepada teman-teman groupwork untuk viewing rumah. Terkadang setelah viewing rumah, saya dan Najih (yang selalu menemani saya) kembali ke kampus Politecnico (rektorat), agar kami bisa belajar dan menggunakan wifi kampus (karena saya tidak punya internet) sebelum akhirnya kampus tutup jam 9. I was so tired.
To give you an illustration how difficult it is to find a house in Milan; kalau kita melihat iklan rumah di suatu platform (facebook atau website), dalam hitungan jam sudah banyak message yang mereka terima, dan dalam satu hari, bisa ada 5 sampai 25 orang viewing rumah tersebut (yang menandakan mereka sudah sangat berminat dan butuh segera), dalam hal ini, selain menggunakan metode siapa cepat dia dapat, landlord juga bisa memilih kandidat mana yang lebih mereka sukai / preferences masing-masing. Bersaing dengan 25 orang, dengan status mahasiswa dan tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Italia, dalam waktu cepat (hitungan hari, bukan menunggu sampai Januari). And it is December! Rata-rata mahasiswa atau kontrak rumah akan berakhir di bulan Desember, kemungkinan mencari rumah jauh lebih sulit dibandingkan mencari untuk periode bulan Januari.
Keadaan diperparah sampai suatu malam, handphone Najih rusak dan totally blank, tidak bisa dinyalakan. Ini akan mempersulit komunikasi selain untuk kami, juga dalam mencari rumah. Biaya untuk membetulkan hampir sama dengan harga membeli hp baru. Beruntungnya, saya memiliki satu hp cadangan, dan saya meminjamkan ke Najih. Setelah menggunakan selama satu hari, terdapat masalah baru yang baru kami temukan di hp cadangan tersebut, sinyal hp tersebut hanya bisa menangkap 2G dan terkadang susah untuk digunakan menelepon. Problems. Sementara itu saya juga meminta tolong teman-teman Italia saya, Bea, Virgi, dan Elena, untuk membantu berbicara melalui telepon untuk saya.
Kemudian di hari-hari workshop dan viewing rumah yang berat tadi. Profesor kesayangan saya, harus pergi dan hari tersebut adalah hari terakhirnya, kemudian mata kuliah Final Synthesis ini akan dilanjutkan lagi dengan profesor utama yang pada saat itu saya memiliki sedikit rasa trauma dan kurang suka dengan komentarnya yang kurang memotivasi. Setelah kelas terakhir dengan Prof. Edelman selesai, saya mendatangi beliau secara khusus without say anything.
“Tell me, Addina.”
“Can I give you a hug?” I put all my bags down and offered him my arms.
“Of course, sweetie.”
Kami berpelukan. “You are such a nice and wonderful girl.” he said to me and pat my back. Rasanya saat itu saya mau menangis, tapi saya tahan-tahan. I felt like he is the best teacher that I ever met, his words calm me down in this crazy situation, and I really sad that he needs to go.
Prof. Edelman and our paper rolls |
Desember tinggal 5 hari lagi. Saya masih belum menemukan rumah. Saya sudah hampir menyerah dan mulai mengontak beberapa teman Indonesia terdekat agar saya bisa nebeng sementara di rumah mereka, seperti Kak Dina, dan Kak Eva. Meskipun saya sendiri merasa tidak enak dengan teman-teman saya, karena mostly mereka sedang thesis dan Desember adalah deadline sekaligus sidang untuk Laurea Magistrale. Sementara dengan nebeng, berarti saya menunda permasalahan sampai satu bulan, dan saya sendiri juga sedang deadline dan exams. Hanya dengan membayangkan saja saya sudah merasa sangat sedih.
Kemudian pada tanggal 28 November, saya juga ada appointment dengan Questura (Police Office) Milan untuk finger print keperluan Residence Permit, yang lokasinya saya dapat secara acak di Bonola, dan siangnya, saya harus ke kantor internship. You must know that, permasalahan Questura ini sebenarnya simple, tapi insecure feeling nya dan penantian lama nya itu yang membuat saya lelah. Saya menunggu kurang lebih 1 - 1,5 jam di luar (winter!) untuk menunggu panggilan kolektif finger print. Setelah itu saya segera menuju Piola (Politecnico rektorat) untuk bertemu Najih, makan siang, belajar sebentar, dan mengatur strategi untuk pencarian rumah.
Akhirnya kami memutuskan, mungkin salah satu jalan terbaiknya adalah dengan sign up sebuah agensi di Milan, walaupun pada akhirnya saya harus membayar biaya servis yang menurut saya tidak sedikit. Bagaimana lagi, saat itu satu-satunya cara adalah dengan sign up servis agensi tersebut. Setelah itu saya juga masih harus ke kantor untuk internship, dan setelah sign up agensi, saya langsung bisa viewing sebuah lokasi rumah. Sayangnya, rumah tersebut hanya menerima rent dalam jangka waktu pendek, meaning that, dalam jangka waktu 3 bulan ke depan saya harus pindah lagi. Saya sangat bingung, dan akhirnya malam-malam saya kembali ke kampus untuk browsing sebentar. Pada hari itu, saya bolak-balik; Sondrio - Bonola - Piola - Zara - San Lorenzo - St.Ambroggio - Piola - Loreto - Rovereto - Piola. Kalau ditotal bisa mencapai 40 - 50 stops (metro, bus, tram).
Milan Map (click to enlarge) |
Mungkin at that point, saya sudah ikhlas, yasudah, kalau memang harus nebeng dan menjadi nomaden selama satu bulan, dan baru bisa mendapat rumah tetap di bulan Januari. Saya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan mengenai rumah (meskipun tidak dapat dipungkiri saya sangat kepikiran mengenai hal ini).
Setelah itu, kami masih berusaha mengontak rumah melalui agen tersebut, namun hasilnya masih nihil. Kemudian pada tanggal 30, kalau tidak salah, landlord saya mengontak saya dan mengatakan bahwa dia butuh berbicara dengan saya.
Guess what.
I feel relieved, but at the same time, this is like a joke for me. But life itself is a joke, no?
Landlord saya mengatakan bahwa masalah sudah beres, rumah tetap menjadi kepemilikannya, dan kami (flatmates) masih bisa tinggal di rumah tersebut, bahkan hingga tahun depan. Sungguh sangat lega sekali karena saya tidak perlu pindah, but also, saya sudah sign up sebuah agensi rumah, capek fisik, mental, mencari rumah. Campur aduk. Najih juga merasa lega karena setidaknya dia tidak ikut pusing membantu mencari rumah, dan bisa fokus mengerjakan thesis dan ujian.
Saya sendiri memutuskan, anyway, saya akan pindah rumah mulai tahun depan. Benar-benar mencari yang sampai saya lulus. Kemudian saya menceritakan ke teman-teman terdekat saya, Kak Eva, Kak Dina, Angga, mengatakan bahwa mungkin masalah-masalah ini adalah murni cobaan dari Tuhan untuk saya, di tengah kekalutan, dan membuat saya menyadari tentang, I don’t know, ketidakpastian, ketidakterdugaan, masalah, dan juga uang.
Masalah-masalah ini membuat saya bertekad sedikit lebih kuat (I hope it will stay strong) untuk belajar Italian, dan juga menabung lebih banyak, saya juga sekarang memulai menjual sesuatu (meskipun sampai sekarang belum ada yang beli, haha) untuk mencoba menutupi ‘kehilangan’ tersebut.
Sekarang bisa saya katakan saya bisa memanajemen masalah dan waktu lebih baik. Final exams, dan internship sampai Januari (atau Februari) dan workshop-workshop di semester 4 menanti. Mungkin berikutnya saya akan menceritakan kepada kalian lebih detail mengenai drama-drama rumah sebelumnya.
But anyway, more or less, dari masalah yang super pelik dan stressfull selama dua bulan ini, saya belajar banyak hal. Saya ikhlaskan semua yang sudah berlalu, dan semoga saya akan mendapatkan rezeki lebih ke depannya. Rezeki itu bisa berupa uang, kemudahan kuliah, orang terdekat yang selalu ada, atau hal-hal lain yang tidak bisa saya prediksi.
Less than two months but I learnt a lot.
Now the storm has gone. I believe that another storm will come to me, to us, as a human being. Whatever happens, happens for the good, no?
Addina Faizati
Milan, Winter 2017
PS: Special thanks to my boyfriend who always here
and help me through this difficult phase
2 comments
Dinaaaf ini Niak :D Oh God.. ya ampuuun sedih banget baca-nya pasti capek banget itu ngejalainnyaaa. sayang nggak bisa ngash pelukan langsung, ku peluk virtual yaaaa, bismillaaah semoga setelah ini bakal baik2 aja keadaannya dan km bs lebih kuat menghadapi challenge lainnyaaa. Doa yang paling terbaik buat dinaaaf, smg Allah permudah kedepannya yaa sis, emuah!
ReplyDeleteAmiiin makasih niiik <3
Delete