RAY
Somehow I think that we are all an actrees and actors who play unscripted-live-movie.
Hidup kita itu kalau diibaratkan seperti film. Masing masing dari diri kita adalah aktor dan aktris untuk film kita masing masing, kadang ada orang yang menjadi peran penting dalam film mu namun tidak menjadi peran penting dalam film orang lain. Masing masing film ada skripnya, tapi, cuma Tuhan yang tahu. Kita sebagai aktor dan aktrisnya dibiarkan begitu saja menjalani adegan demi adegan tanpa tahu jalan cerita dan akhir dari cerita film tersebut.
So funny, huh?
---
Bandung, 31 Desember 2013
Malam tahun baru kali ini aku habiskan dengan menonton DVD dari kamarku semalaman. Sudah beberapa jenis serial maupun film box office aku kumpulkan sengaja untuk persiapan malam tahun baru 2013 ini. ‘Cause I’m so not into the party and the crowd of New Year’s Eve Party. Sejak kira kira entah kapan, atau kira kira sekitar dua hingga tiga tahun yang lalu. Tidak, tidak boleh tidur terlalu dini hari, karena besok aku akan ada janji dengan seseorang perempuan yang spesial.
Tanggal 1 jam 1 di Kedai Kopi, deal?
Aku membaca ulang pesan singkatmu melalui layanan chatting yang sedang banyak digunakan akhir akhir ini. Aku membalas dengan gambar gambar lucu mengacungkan jempol. Sesederhana itu, tanpa kamu tahu sebenarnya tidak ada gambar yang bisa mengungkapkan perasaanku, boleh dibilang yang paling mendekati adalah gambar kembang api tahun baru. Yang paling besar, paling keras suaranya, dan paling terang sinarnya.
Telepon genggamku berbunyi pelan.
Tatya.
“Halo? Iya besok jadi, iya. Oke. Iya, selamat tahun baru ya..” jawabku singkat singkat.
Malam sudah hampir berganti hari. Mataku mulai mengantuk. Aku membiarkan DVD ku menyala hingga aku terbangun besok. Aku sengaja tidak minum kopi sore tadi, demi tidur cepat. Demi tidak terlambat besok tanggal satu. Demi kamu.
---
Bandung, 1 Januari 2014
Jam satu.
Satu jam yang lalu. Sudah berlalu oleh perbincangan acak dan canggung ku dan kamu. Yang seperti biasa, masih didominasi olehmu. Kamu dengan terusan selutut berwarna merah muda bergaris garis horizontal putih. Rambutmu entah mengapa masih terlihat seolah sama panjangnya seperti tidak bertumbuh. Pipimu masih sama merah dan bulatnya, dengan bibir kecil yang banyak berbicara. Kamu yang di depanku masih sama seperti kamu dua tahun lalu, tiga tahun lalu, empat tahun lalu, lima tahun lalu. Hanya saja kamu sudah terlihat sedikit lebih dewasa dari beberapa tahun yang sudah berlalu itu.
Does it funny how time could change everything but your feeling?
Sementara kamu masih terus menatap dalam dalam secangkir teh manis di hadapanmu. Sambil sesekali mengaduknya. Sampai mendingin. Karena katamu, kamu tidak suka kopi. Tapi kamu masih mau aku ajak untuk sekedar duduk bertemu dan berbincang sebentar disini. Di kedai kopi favoritku. Boleh aku sedikit berharap?
“Ngomong ngomong, kamu masih tidak suka kopi?” tanyaku spontan. Takut terlalu geer akan asumsi kamu tidak suka kopi tapi masih mau bertemu denganku di Kedai Kopi hanya karena kamu memang ingin bertemu denganku, bukan Kopi.
Kamu menggeleng, kemudian menjawab singkat seperti bagaimana gaya kamu berbicara yang sama dua tahun lalu, tiga tahun lalu, empat tahun lalu, lima tahun lalu.
“Masih. Lebih suka teh daripada kopi”
“Tapi teh mu sudah dingin.” Kataku. Sama seperti perasaanmu, mungkin?
“Biar aja sih.”
“Mau pesan teh lagi? Atau mau coba kopi? Mau kupesankan?”
Dead air. Kamu menggeleng. Sebuah gelengan yang terlalu lemah. Entah karena malas atau karena perasaan tertentu. Sedih. Atau kesepian? Segera aku menepis prasangkaku. Gelengan lemahmu mengingatkanku pada rajukan rajukan mu yang dulu. Masih sama. Lemah. Merajuk.
---
“Kamu tau nggak Ray, kadang aku mikir kalau kita semua ini aktor dan aktris. Kita lagi mainin film kita masing masing. Tapi tanpa skrip. Dan live.” Celetukmu tiba tiba sambil mengaduk sepiring pasta di depanmu.
“Oh ya? Kalau begitu, aku pasti aktor yang ganteng deh.” Jawabku tidak serius. Lalu kamu memukulku pelan. Dan kita berdua tertawa.
---
“Kenapa?” tanyaku lagi. Kamu masih saja menggeleng. Lalu diam. Momen diam. Dead air. Lagi. Aku mau kamu banyak bercerita seperti dulu. Dua tahun lalu, tiga tahun lalu, empat tahun lalu, lima tahun lalu. Bercerita tentang kuliahmu, tentang pekerjaanmu, teman temanmu, perasaanmu, majalah kesukaanmu, musik kesukaanmu, destinasi liburanmu, keinginanmu, cita citamu. Tentang kamu. Seperti dulu. Dua tahun lalu, tiga tahun lalu, empat tahun lalu, lima tahun lalu.
“Kenapa selalu aku sih, yang banyak ngomong?” gerutumu cemberut di tengah tengah perbincangan makan malam biasa kita.
“Aku nggak tau mau ngomong apa.” Balasku. Sepiring carbonara di depanku masih belum habis. Terlalu sibuk mendengarkan kamu bercerita. Banyak. Sangat banyak. Terlampau banyak.
Aku diam. Menatap kamu dan secangkir tehmu dalam dalam. Dan merasa betapa menyesal dulu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu, empat tahun lalu, lima tahun lalu, sama sekali belum sempat aku mengatakan padamu bahwa aku senang melihatmu berbicara banyak dengan mata berbinar dan rona bahagia di pipimu. Dan dengan sengaja membiarkanku untuk menjadi pendengar, karena ceritaku tidak lebih penting dari dirimu dan cerita ceritamu. Terlalu malu mengakui hal remeh yang seharusnya aku tahu hal itu bukanlah sesuatu yang memalukan untuk diakui.
Tapi, penyesalan itu memang datangnya selalu terlambat kan?
Bandung, 31 Desember 2010
Kita berdua baru saja pulang dari pentas seni musik tahun baru, kamu yang mengajakku meskipun kamu tahu aku malas dengan acara penuh keramaian. Seperti biasa aku selalu menjadi pendengar setiamu. Mendengarkan ocehan dan celetukanmu. Kita berdua berjalan perlahan menuju tempat aku memarkirkan motor bebek ku.
“Ray?”
“Ya?”
“Kamu ikhlas nggak sih, nonton acara tadi? Aku capek. Kayak aku ngomong sama tembok atau pacaran sama anak presiden yang sibuk terus sama kegiatan yang lain, semua, kecuali aku.” Cerocosmu tiba tiba. Sambil menangis terisak isak. Katamu, ini semua sudah terlanjur di ubun ubun.
Kalimat singkat yang diikuti oleh isak tangismu dua tahun lalu itu benar benar meruntuhkanku. Kamu adalah perempuan yang keras kepala, keinginanmu begitu kuat dan susah digoyahkan. Lalu, kalau kamu sudah begini, aku bisa apa?
Kemudian tidak ada kata kata lagi yang terucapkan. Kalaupun ada, aku susah mencernanya, tersamarkan oleh ingus dan air mata yang membuat semua kata tidak jelas, tidak jernih terucapkan. Kamu menangis di hadapanku, dan sepanjang perjalanan pulang menuju kosmu di punggungku. Dua tahun lalu.
“Minggu depan, kamu mau datang sama siapa? Sudah ada teman?” tanyamu. Memecah keheningan. Memalingkan tangan dan matamu dari secangkir teh dinginmu.
“Sama Tatya.”
“Pacarmu?”
Aku mengangguk. Pelan. Entah karena apa. Yes. She is not Tatya who called me yesterday.
“Selamat ya.”
“Buat apa?”
“Tatya. Cantik.” Sambil kamu tersenyum dan meneguk kecil teh mu yang sudah mendingin sedari tadi.
Sambil kamu tidak tahu bahwa kamu masih sama cantiknya seperti saat pertama kali aku mengatakan kepadamu bahwa kamu cantik. Lima tahun yang lalu, yang mungkin juga untuk terakhir kalinya. Betapa menyesal aku tidak pernah mengatakannya lagi padamu. Setiap hari. Kalau bisa setiap saat aku melihatmu dari jauh. Saat kamu tertawa dengan teman temanmu, saat kamu makan, saat kamu tertidur di kelas, atau saat kamu sedang tidak melakukan apa apa.
Dan lebih menyesalnya aku ketika tidak berusaha mencegahmu yang saat itu, dua tahun lalu, meminta selesai dari hubungan ini, tanpa berusaha sedikitpun mengatakan apa yang kamu ingin dengar dariku, apa yang kamu tidak pernah dengar dariku. Tanpa aku berpikir apakah saat itu kamu berusaha mengujiku, atau benar benar ingin selesai. Boleh aku beranggapan kamu mengujiku? Dan aku tidak lolos dalam ujianmu? Boleh aku beranggapan sampai saat ini kamu juga mengujiku?
In your mind, Ray. Kataku pada diriku sendiri.
“Kamu juga.” Ucapku spontan.
“Buat?”
“Pernikahanmu minggu depan.”
Kamu tersenyum. Senyum yang dulu buatku.
Please, Kin. May I know your script for me at that time? And re-act my act?
KINZA
Kamu masih laki laki yang sama seperti dulu, lima tahun lalu, empat tahun lalu, tiga tahun lalu, dua tahun lalu. Laki laki kurus tinggi dengan warna kulit coklat sawo matang dan kumis tipis yang seolah tidak bertumbuh. Gaya berpakaianmu juga masih sama. Kemeja flannel sebagai luaran dan kaos untuk di dalam. Kamu terlihat jauh lebih dewasa sekarang.
Kenapa kita harus bertemu dua tahun, Ray? Kenapa tidak dari dulu? Dari seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, atau bahkan enam bulan dari dua tahun yang lalu aku akan masih menunggumu. Dua tahun terlalu lama untukku menerima kembali ini semua. Sekarang kita sudah berada dalam film kita masing masing dan dengan pemain penting masing masing.
If only you knew what I’ve scripted for you last 2 years, Ray.
I’ve scripted you asked me to come back.
But you didn’t.
“Selamat tahun baru, Ray.”
“Selamat tahun dan hidup baru, Kin.”
Addina Faizati
Bandung, 31 Desember 2013
ditulis untuk mengikuti lomba menulis cerpen kilat oleh Bentang Pustaka