"Hutangmu belum lunas.."
Katamu. Dengan mata berkaca kaca.
Jemari yang memainkan ujung baju panjang berendamu. Takut. Malu malu menunduk
sambil mencuri curi lirik ke arahku. Bibirmu yang selalu basah kamu gigit pelan
dengan gigi mu yang mengenakan kawat gigi berkaret merah muda. Kamu. Cantik.
Sungguh aku tidak pernah bermaksud
untuk membuat hubungan yang seharusnya sudah selesai ini menjadi harus terus
terpaksa terhubung karena satu hal yang tidak menyenangkan. Hutang. Janji adalah
hutang. Hutang harus dibayar.
“Memangnya, aku ada janji apalagi sama kamu, Kin?” tanyaku lembut sambil mengelus rambutmu. Aku tersenyum sambil dalam hati mencoba mengingat ingat janji apa yang pernah terucap namun belum sempat terbayar.
Kamu menggeleng. Isakmu bertambah
menghentak.
Selalu. Lalu aku memelukmu.
Entah untuk
yang keberapa kalinya percakapan yang sama seperti ini terjadi.
Aku
tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi antara aku dan Kinar. Apa.
Hubungan yang seharusnya sudah selesai. Clear.
Namun kami masih saja terus mencoba berkomunikasi. Entah karena kebutuhan
tertentu, atau beralasan adanya kebutuhan tertentu, atau alasan alasan lain
seolah olah mengharuskan kami berkomunikasi.
Entah sudah
berapa puluhan pesan singkat yang terkirim. Atau bahkan tersimpan di chat
conversation telepon genggam masing masing. Entah sudah berapa menit, jam, pembicaraan
melalui telepon genggam yang sudah kami lewati. Dan entah sudah berapa kali
pertemuan yang kami buat demi membicarakan kebutuhan tersebut.
Aku masih
begitu menginginkan dia untuk menemaniku.
“Kin, kalau kita kayak gini terus, kenapa kita nggak balikan aja?” tanyaku. Mempertanyakan hubungan kami. Yang mau tak mau. Entah sudah yang keberapa kalinya aku memintanya untuk kembali. Untuk memulai lagi hubungan yang sudah lama kami buat. Yang tiba tiba saja terputus karena sebuah kebodohan.
Kinar
hanya menggeleng. Lalu perlahan air matanya meleleh.
“Hutangmu belum lunas…” Isakmu. “Maaf..”
Lalu
percakapan itu terus berulang. Berulang dan berulang. Sampai sudah tahun kedua
kami menjalani hubungan seperti ini. Sampai kamu bertemu dengan laki laki baru.
Aku dekat dengan perempuan baru. Terus seperti ini. Masih terus mencoba coba
mencari alasan untuk pesan pesan singkat, panggilan, dan pertemuan. Beralasan kami
hanyalah sahabat pada kekasih masing masing. Beralasan urusan pekerjaan. Beralasan.
Alasan.
Kamu
pergi. Tiba tiba.
“Adi.. kemarin.. Riza ngelamar aku..” katamu pelan. Melalui sebuah sambungan telepon. ”Terus.. aku jawab iya..”
Lalu aku
seperti merasa sambungan telepon kami terputus. Aku berbicara namun tidak
mendengar apa yang dia katakan. Aku tidak tahu apa maksudnya. Entah memintaku
untuk turut bergembira. Entah memintaku melarangnya. Atau entah. Sampai pembicaraan
kami selesai. Karena biaya telepon yang mulai membengkak.
Aku seperti tercabik cabik. Hutang apa yang belum aku lunasi sampai Kinar belum bisa menerimaku lagi? Janji apa yang belum kutepati? Aku berusaha mengingat ingat. Membongkar sebuah kardus bergambar bunga bunga berwarna merah muda pemberianmu.
“Ini kardus buatmu, semua barang barang dariku di simpan di sini, ya?” katamu. Empat tahun silam. Ketika kita masih menjalin sebuah hubungan yang hangat dan menyenangkan.
Aku mengeluarkan
semua kartu ucapan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, 1.5 tahun, 2 tahun, gantungan
gantungan kunci yang kamu berikan, semua. Semua. Semua. Semua sudah lunas. Sudah.
Lunas.
"Kinar.. aku..” aku terbata bata. Tanganku melepaskan genggaman tanganku. Pada tangan seorang perempuan lain. Perempuan lain. Yang entah apa yang ada dipikiranku sampai pada saat itu aku sampai mampu menyakiti seorang Kinar yang sudah tiga tahun menemaniku dengan segala kekuranganku.
Aku dapat melihat mata Kinar
merah. Berkaca kaca. Marah. Sedih. Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu apa
yang ada dipikiranku sendiri. Apa?
Pertemuan
yang di luar rencanaku. Di sebuah mall. Aku luput. Aku lupa Kinar suka berjalan
jalan sendirian. Sekedar mencari buku atau makan es krim. Aku luput. Aku tidak
tahu. Aku apa. Brengsek. Seorang laki laki brengsek yang bahkan tidak berusaha
mengejar Kinar yang saat itu bergegas meninggalkanku dan perempuan itu. Lalu
malamnya aku menerima begitu saja permintaan putus Kinar. Tanpa alasan. Tanpa usaha.
Tanpa maaf. Brengsek.
Tanpa
alasan.
Tanpa usaha.
Tanpa maaf.
Tanpa.
“Maaf.. Nar..” gumamku pelan. “Maaf..”
Tanpa maaf.
Maaf.
...
“You owe me an apology..”
(Adhitia Sofyan - Apology)