Okay, so here I am decided to do a post in order to follow up on my previous post regarding my job or what I'm doing recently. You can read my previous story here.
Dari situ, saya dan Najih kemudian memutuskan bahwa I can be a full-time freelancer dan menabung pemasukan freelance saya sedangkan kehidupan sehari-hari dari pemasukan Najih dari kantor. Modal saya hanya internet sebesar 30-50 Euro sebulan yang sudah sangat lebih dari cukup. Saya tidak perlu mengeluarkan biaya langganan transportasi, tidak perlu boros makeup ke kantor (hanya untuk jalan-jalan dan di saat saya ingin kapanpun itu hahah), makan di rumah, dan bonus tidak ada kekhawatiran resiko ini itu di jalan atau pulang telat kecapekan dan sebagainya.
Sejujurnya saya triggered dari topik terkini yang sedang hangat di twitter mengenai gaji, pekerjaan, hidup layak, dan sebagainya. Memang tidak sedikit influencer, selebtwit, selebgram, etc etc, yang membahas mengenai 'seberapa layak' kah hidupmu, atau bagaimana mengatur keuangan, dan sebagainya. Seems unfair somehow for some of the people, I believe. Saya percaya terkadang banyak orang yang bekerja lebih keras dan lebih berat dari sebagian orang namun mendapatkah hasil yang tidak jarang jauh lebih sedikit. Vice versa.
Pembicaraan ini juga sempat muncul pada suatu sore ketika saya jalan-jalan di taman dengan teman saya (wanita Italia, 30) yang dalam waktu dekat (akhir bulan Juni ini) akan resign dan memutuskan untuk pindah ke Milan (she said she had enough of Brescia, LOL) dan tinggal dengan pacarnya untuk sementara hingga mendapatkan pekerjaan baru di Milan.
Kami berdiskusi mengenai pekerjaan dan lapangan pekerjaan. Kami sepakat bahwa permasalahan lapangan pekerjaan ini bukan hanya melanda negara saya (yang notabene adalah third world country), namun juga di Italia, Eropa secara umum, sampai pada kesimpulan masalah ini adalah isu dunia. I'm not sure if we just exxagerated this thing or not.
Teman saya merasa bahwa kebanyakan orang-orang bekerja untuk bertahan hidup (whatever the work is) sampai bisa mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lain yang dirasa lebih layak. Teori ini berlaku untuk both skilled/educated and non-skilled. Dalam kasus non-skilled, kami mengambil topik pembahasan refugee atau pendatang-pendatang dari Afrika yang tiba di Eropa tanpa kemampuan apapun, tanpa kemampuan berbahasa Italia (but they can speak French, usually), tidak berpendidikan (maksimal lulusan sekolah menengah atas), dan mereka tidak punya 'apa-apa' sebagai modal bertahan hidup.
Sedangkan untuk skilled/educated people, contohnya teman saya ini dan saya sendiri (akan dibahas setelah membahas teman saya). Teman saya ini sudah menjadi tenaga pengajar selama 2 tahun dan dia merasa bahwa dia 'layak' mendapatkan pekerjaan atau strata tenaga pengajar yang lebih tinggi yang setara dan sesuai dengan jenjang pendidikan yang telah dia selesaikan (saya berasumsi dia telah menyelesaikan jenjang Master karena dengan usia tersebut dan bekerja selama 2 tahun, dan mengingat rata-rata teman Italia yang sudah S1 kebanyakan langsung menempuh S2, dan sebagai catatan pacarnya juga satu alumni dengan saya (S2-nya)). Dia merasa, sebagai seorang Italian, yang tinggal di Italia, seorang native, masih khawatir akan 'survival work' yang akan dia tempuh setelah ini nantinya.
I will work to gain the experience to get the work that I deserve to, she said.
Sementara itu, dia akan mencoba 'bertahan' dengan hidup dengan pacar/partnernya di Milan. Secara otomatis, dia memiliki support baik secara mental maupun finansial untuk 'bertahan' sebelum bisa 'bertahan' sendiri. I really hope you got the point.
Begitupun dengan saya. Saya pernah melalui interview untuk sebuah posisi yang sesuai dengan jenjang yang saya tempuh, namun, keraguannya adalah saya belum berpengalaman di bidang itu. Hence, saya harus melakukan pekerjaan (semacam internship) yang sesuai untuk mendapatkan posisi pekerjaan tersebut. Inilah yang saya dan teman saya maksud bekerja untuk bertahan sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Long story short, kalau kalian sudah membaca mengenai cerita saya sebelumnya, tentang mencari pekerjaan, saya perlu mengakui bahwa jiwa saya 'kurang' tertempa karena 'hanya' berusaha mencari kerja sekitar 1 - 3 bulan kemudian memutuskan untuk 'berhenti' dan menjadi pekerja lepas. Saya tahu betul banyak orang yang mencari dan berusaha sedemikian rupa dan sedemikian lama. Sedangkan saya, dapat tawaran, menolak karena alasan ini itu dan sebagainya. Mungkin bisa dibilang saya terlalu 'lemah' dan 'kurang mau bersusah payah' melewati fase internship dengan take home pay yang mungkin tidak sesuai dengan perjuangan yang saya keluarkan, dan sebagainya. Anyway, toh semua orang memiliki alasannya masing-masing.
Saya bisa bilang bahwa saya cukup privileged, karena saya bisa tetap hidup tanpa harus memaksa diri saya untuk mengerjakan sesuatu yang saya tidak suka atau bekerja underpaid for the sake of surviving. Dalam artian pemasukan Najih sebagai pegawai tetap (yang sudah melalui fase internship tersebut) sudah lebih dari cukup untuk kami hidup berdua, sedangkan untuk saya menjadi intern di kota lain akan membuat kami mengeluarkan biaya lain-lain seperti berlangganan kartu, makan, lelah, dan lain-lain yang saat ini kami berpikir tidak akan sebanding dengan pemasukan sebagai internship yang saya dapat.
So here I am, secara alami pada bulan ke-3 mencari pekerjaan (sekitar bulan Maret) saya tidak lagi 'mencari' pekerjaan dalam artian mendaftar di perusahaan-perusahaan. Saya menjadi pekerja lepas sesuai dengan hobi saya dan sedikit banyak sesuai dengan jurusan yang saya ambil di jenjang Master. Sebagai ilustrator atau graphic designer, saya sendiri tidak memiliki ekspektasi apa-apa dari pekerjaan lepas ini. Surprisingly, I earn more than I expected or even more than working in the company as an intern here.
My working table at home |
Dari situ, saya dan Najih kemudian memutuskan bahwa I can be a full-time freelancer dan menabung pemasukan freelance saya sedangkan kehidupan sehari-hari dari pemasukan Najih dari kantor. Modal saya hanya internet sebesar 30-50 Euro sebulan yang sudah sangat lebih dari cukup. Saya tidak perlu mengeluarkan biaya langganan transportasi, tidak perlu boros makeup ke kantor (hanya untuk jalan-jalan dan di saat saya ingin kapanpun itu hahah), makan di rumah, dan bonus tidak ada kekhawatiran resiko ini itu di jalan atau pulang telat kecapekan dan sebagainya.
This condition is a win-win solution for both of us, to be honest. Saya masih bisa les bahasa, berolahraga, fangirling, melakukan hal-hal lain yang saya suka, dan tetap bekerja tanpa stress commuting.
Banyak pro kontra yang bisa dijabarkan mengenai pekerjaan lepas ini. Salah satu contohnya adalah kesulitan menjelaskan kepada orangtua (atau orang-orang lain) mengenai apa yang saya kerjakan. Mereka terkadang menganggap saya benar-benar full di rumah dan tidak melakukan apa-apa. It sucks, to be honest. Saya tidak bisa menyalahkan mereka, tapi terkadang pada poin atau fase tertentu saya merasa I don't get enough credit for what I did (or for what I'm doing) karena mereka tidak tahu.
Saya pribadi sebagai seseorang yang merasa 'butuh pengakuan', yes I am. Tidak bisa dipungkiri hal ini terkadang sulit buat saya, namun perasaan itu sudah menjadi kalimat lampau. Saat ini saya sudah merasa nyaman, setidaknya hingga tahun ini berakhir saya akan menekuni profesi pekerja lepas ini baru kemudian memikirkan langkah apa yang harus saya tempuh berikutnya setelah kami (saya dan Najih) merasa lebih settle di sini. 'Cause to be honest the starter pack to living here (not as a student anymore) is hella lot more than we thought it would be.
Dan masih banyak lagi list pro dan kontra sebagai pekerja lepas. However, to be honest, I'm feeling my best like this. I'm doing what I can do best and enjoy it the most. Kalau dipikir apakah saya mau untuk menjadi what-so-called 'budak korporat' lagi? I'm not sure. Anyway, saya juga belum, atau tidak tahu apa yang akan terjadi besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan.
To conclude this post, setiap orang punya jalan dan pilihannya masing-masing. Mungkin kalau ada yang melihat saya bekerja lepas karena saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan, karena mereka tidak tahu latar belakang mengapa saya memilih ini. Begitu juga dengan orang lain, teman saya, memilih melepaskan pekerjaan di sini dan kembali dari nol dengan harapan bisa mendapatkan yang dia inginkan dan setara dengan kemampuannya.
Sepertinya kok dirasa kurang adil kalau membandingkan pemasukan si X si Y dan si Z dan membandingkan gaya hidup orang yang berbeda-beda. Gaya hidup akan menyesuaikan dengan pemasukan dan vice versa. Saya mungkin dulu bisa hidup dengan pemasukan sekian dari pekerjaan saya yang lama di Bandung, tapi kalau sekarang dengan pemasukan yang sama, mungkin saya tidak akan bisa 'hidup nyaman', belum tentu orang lain tidak bisa hidup nyaman dengan jumlah tersebut.
Belum lagi dengan faktor-faktor lain yang saya rasa terlalu sensitif untuk dibahas, kita tidak tahu apakah orang ini masih harus mengirim uang untuk keluarganya misal. Bisa juga orang tersebut memilih bekerja misal di Jogja dengan gaji kota tersebut dengan alasan agar bisa dekat dengan orangtua, atau ada pengeluaran-pengeluaran lain yang tidak 'masuk' nalar pikir kita sebagai orang 'luar'. Karena tidak semua orang memiliki pilihan atau keistimewaan untuk memilih.
Well, kita harus memahami dan memaklumi bahwa semua orang punya pilihan dan latar belakangnya masing-masing yang tidak bisa disamaratakan dengan cerita orang lain. Let's just stop comparing and feel bad about ourselves. If people say that you deserve more, then, maybe YOU SHOULD, but don't make that statement as a reason to put you down or feel bad about you, yourself.
You decide your own, not others, no?
Addina Faizati
Musim panas,
Brescia