Aku
dan kamu terduduk dan terdiam sambil memandangi jalanan yang mulai tua dan
merenta, namun masih dipaksa bekerja demi pariwisata kota. Pada suatu café
dengan konsep yang dituakan menyesuaikan tua nya jalanan ini, kamu dengan Vietnam drip coffee mu, aku dan green tea latte ku. Kita berdua sama
sama terdiam, melihat hingar bingar malam jalan tua ini.. Namun toh isinya
tetap hingar bingar muda. Braga. Yang mungkin adalah salah satu jalan favoritmu
di kota ini.
It’s been I don’t know how long
since our last meet and awkward talk like this. It is too cliché to tell how
finally we met again in this café and talk about nothing. Kamu
tiba tiba menghubungiku karena kamu sedang ada meeting di Bandung pada hari Jumat dan memutuskan untuk sekaligus
menghabiskan akhir pekanmu di sini. And
voila! How could I deny you, by the way? And now here I am, menikmati
bagaimana kamu malah asyik membaca Musashi setebal 1200 halaman di depan
mataku. Membiarkanku terbengong dan terdiam menikmati kerut di dahimu,
menikmati jemari tanganmu yang berulang kali membolak balikkan halaman yang
tidak kamu mengerti, atau bagaimana kamu menyeruput pelan kopi panas favoritmu.
You are always know how to win my heart,
Bima.
Aku
masih bisa mengingat bagaimana kamu yang dulu belum berjambang, kini sedikit
demi sedikit mulai tumbuh jambang di sekitar pipi, kulitmu entah kenapa sedikit
menghitam, dan binar matamu yang sudah semakin dewasa. You’ve grown up very well, recently. But you still the one that I knew,
masih dengan buku-bukumu, membaca seolah tidak ada waktu lagi besok,
membaca seolah tidak ada siapapun di sekitarmu, kamu bahkan membiarkanku
membuang waktu ku selama sudah hampir satu jam tanpa banyak perbincangan.
Oh man! Are you straight, for sure?
Laki
laki lain pasti sudah akan berbicara banyak dan sedikit mencuri untuk
menggodaku. Aku hari ini mengenakan rok berwarna biru gelap sepuluh centimeter
di atas lutut, loose shirt berwarna
kuning gading, dan sepatu hak berwarna cocoa
setinggi sembilan centimeter. Rambutku sengaja ku blow sedikit ikal. My makeup is naturally done with the all
time favorite red-lipstick. I am
perfectly-perfect and he even didn’t look at me.
“Kenapa?” katamu ketus, seperti biasa. Sambil
menandai halaman Musashi mu yang sudah mencapai setengahnya. Aku tertawa pelan.
“Kamu
tuh ya, masih aja. Aku udah di sini ngeluangin
waktu buat kamu, malah ditinggal
baca buku yang mungkin lebih tebel daripada
hak sepatu.” Lanjutku sambil sedikit meminum green tea latte ku.
“Aku
selalu kagum sama bangunan heritage.” Katamu tiba tiba, tanpa ba-bi-bu. Sambil
mengagumi bangunan bangunan lawas di hadapan kita. Meskipun menurutku, kawasan
Braga ini terlalu bingar untuk disebut kawasan kota tua. Rasanya aku lebih
merasakan kemagisan kawasan nol kilometer Jogja. “Pernah ngebayangin nggak, kalau
dia, mereka,” sambil kamu kemudian menunjuk ke arah tiga bangunan indische di seberang kami. “Sudah jadi
saksi dari ratusan, ribuan kejadian selama ratusan tahun. Kalau mereka adalah
manusia, aku yakin mereka bakal jadi manusia yang bijaksana. Mereka bahkan
entah sudah berapa kali melihat kematian, peperangan, kebangkitan, revolusi,
sampai pada masa modern ini, muda mudi bertengkar, menjadi saksi kejujuran
pedagang kaki lima, adanya kecelakaan di ruas jalan ini, atau sekedar orang
yang duduk duduk di sini. Kayak kita.”
Kamu
masih diam. Memandang mandang. Entah memandangi apa.
“Beda
sama manusia. Kita manusia melihat apa yang terjadi, semua belum tentu terjadi
secara natural.” Lanjutmu lagi. “I mean,
bangunan bangunan ini benda mati, kita manusia menganggap mereka bukan apa apa,
disitulah, kita, manusia bisa act
naturally, nggak ada yang disembuyikan. Contohnya aja sih, kamu di rumah,
di kamar sendiri, pake baju segembel apapun, rambut se-nggak beraturan apapun
juga nggak papa kan?” Bima melanjutkan penjelasannya. “Beda sama sesama
manusia, kita bertingkah sesuai dengan siapa yang ada di hadapan kita. Bukan
berarti kita nggak jadi diri sendiri, tapi ya itu, batas kesopanan dan lain
sebagainya. Somehow I wonder how does it
feel become a thing. I mean a thing is a thing. Bisa melihat dan dilihat
tanpa ada maksud tertentu. Don’t you?”
“Kamu
masih sama banget kayak Bima yang terakhir kali aku tahu. Masih suka banget ya Bim,
sama building and all of those
architecture-things?” Aku kemudian tersenyum. “Itu alasan kamu mau lanjut
kuliah Master of Architecture di
Denmark, September ini?” lanjutku. Kamu mengangguk.
“Akhirnya,
setelah satu sampai dua tahun terakhir aku dapet juga. Tinggal tunggu resign, lanjut urus-urus keperluan
beasiswa sama kehidupan di sana.”
Aku
dan kamu terduduk dan terdiam lagi sambil memandangi jalanan dengan pikiran
masing masing. Entah apa yang ada dipikiranmu. Even I don’t know what is in my mind right now. I am just sitting here
and gazing at you, sebelum tidak boleh lagi memandangmu, sebelum tidak bisa
lagi. Yes, I am that cheesy and cliché. Kata
orang, kalau dua orang sudah menikmati dirinya masing masing walaupun mereka
sedang bersama, itu adalah tingkatan tertinggi dari suatu kebersamaan. Aren’t we, Bima? Why we are not?
“Udah
jam sepuluh malam. Kamu nggak pulang?” tanyamu. Tanganmu melambai pada waiter terdekat dan member tanda meminta
bill. “Aku aja yang bayarin.” Here it is, your arrogance.
“Iya
deh iya, yang udah kerja jadi kepala studio.” Aku mengejeknya pelan. “Besok ke
Jakarta naik apa? Kereta?” Yang dijawabnya hanya dengan anggukan, sambil
menyerahkan uang pada pada waiter.
Tangannya mengemasi barang barangnya ke dalam tas.
“Terimakasih
ya.” Katamu pelan dan kaku, sambil berdiri dan mengangguk sedikit. Kita berdiri
berhadapan kamu secara awkward menyalamiku.
I try to stole your cheek-kiss, like we
used-to-be before, but I failed. “Terimakasih sudah menemani sebentar, dan
terimakasih dulu sudah mengajarkan privat IELTS.
Salam untuk suami dan anakmu, ya, Tante.”
“I really wish you are five or eight years
older than me, Bim.”
Kamu
hanya tersenyum pelan.
Bandung, 31 Januari 2015
Adhitia Sofyan - Deadly Lightning Thunder Storm
Adhitia Sofyan - Deadly Lightning Thunder Storm