There is a thing (or more) in this city that could make you come back and still survive here.
Ada beberapa hal yang mungkin
tidak bisa kita pahami dengan akal sehat mengapa kita masih bisa mempertahankan
sesuatu hal. Entah itu pekerjaan, kantor, pertemanan, relationship, kos kos an, gadget, warung makan, dan hal hal kecil
lainnya.
Pemikiran absurd ini terpikirkan
setelah akhir pekan kemarin saya mengunjungi ibukota hanya selama kurang dari
satu hari. Cuma sebentar, setengah hari. Saya pribadi mengakui kurang menyukai
atmosfer ibukota. Macet, panas, polusi, kotor, culture, dan sebagainya dan sebagainya. Tapi entah kenapa memang selalu
ada perasaan melankolis yang aneh kalau saya melewati malam di ibukota,
melewati lampu lampu remang remang dari bangunan tinggi, dari lampu kendaraan,
dan entah apa.
Teman saya, yang notabene bekerja
di ibukota (saya tidak), mengatakan bahwa sebagaimana bencinya dia dengan
ibukota, tetap saja ada hal hal kecil yang membuat dia masih mau bertahan. Entah
itu pekerjaannya, uang yang didapat, atau sesederhana bagaimana dia bercerita
tentang Taman Suropati. Taman kesukaannya yang menurutnya masih membuat manusia
menjadi manusia di ibukota ini.
True. I always have a small good reason to everything.
Saya tidak pernah membenci
Bandung. Tapi saya punya banyak alasan yang membuat saya ingin pulang ke Jogja,
sesederhana, saya rindu kucing, saya kangen kampus, saya pengen minum es teh
enak di Jogja, dan hal hal sepele lainnya. Namun ada juga alasan alasan yang
membuat saya mempertahankan Bandung. Entah itu event event asik nya atau masalah lain seperti sudah berjanji akan
jalan dengan teman teman di Bandung.
Atau bagaimana saya merasa kurang
nyaman dengan kos saya yang begitu ramai dengan mahasiswa yang kurang rapih
menjaga kebersihan dapur (saya sok rapi tapi, ini emang bener sih), namun saya
masih tetap bertahan karena entah alasan apa saya juga tidak memahami. Entah karena
garasi motornya, atau jendela menghadap luarnya, atau taman kecil di dalam kos
yang tidak membuat saya sumpek di kos.
Contoh lain lagi, saya yang sudah
lelah dengan laptop yang kalau kepanasan bisa mati sendiri, baterai yang drop
tidak bisa nyala tanpa colokan, dan sebagainya. Selain karena alasan keuangan,
hal hal melankolis lain yang diluar akal sehat bisa menjadi alasan yang terlalu
kuat untuk mempertahankan ini semua.
See? Bukankah ini berarti terlalu banyak manusia
membuat buat alasan untuk kenyamanan diri mereka sendiri. Padahal menurut saya,
sebenarnya, tidak semua hal yang ada di dunia ini ‘beralasan’. Maksudnya, sama
seperti proses desain pun ada yang namanya black
box.
We don’t really know how we come into this, but we just know that this is the right place/form/time/person.
Mungkin kita memang tidak perlu
memiliki alasan khusus untuk meninggalkan sesuatu tempat, atau seseorang, atau
apapun. Atau kebalikannya, kita tidak perlu menjadikan alasan alasan tadi
sebagai pembenaran bagi kita untuk meninggalkan suatu tempat, seseorang, atau
apapun.
We just know 'it' without the reason.Reason(s) only make us feel comfort with our own decision.
Pada akhirnya, bisa jadi kita hanya mencari cari alasan untuk pembenaran diri sendiri. Untuk kenyamanan diri sendiri atau keputusan yang kita buat. I bet we are all have that moment where you don't know why you decided something and ended up you created a bunch of reasons for the sake of your heart. Or you choose 'destiny' as one of your reason.
But here we are, human; always have a small good reason to everything.
And I still don’t have that ‘reason’.
To stay or to leave.
Both.
Addina Faizati
Secret of the World - Adhitia Sofyan