say hello to this weird blog, again, guys! :D
so here i am want to tell you all about a difable and accessibility :)
singkat cerita, seperti yang sudah pernah saya post sebelumnya disini dan disini, saya mengikuti kelas mata kuliah pilihan berjudul Aksesibilitas.
apakah itu aksesibilitas? semacam mata kuliah yang membahas tentang universal design, jadi di mana seorang arsitek harus mampu membuat desainnya aksesibel, yaitu bisa digunakan oleh siapa saja tanpa memerlukan usaha berlebih.
di mata kuliah ini lebih banyak difokuskan ke teman teman difable (different ability) yaitu teman teman yang menggunakan kursi roda, kruk, buta, tuli, dan low vision.
kebetulan minggu lalu, kami yang mengikuti mata kuliah tersebut mengadakan simulasi difabel bersama teman teman dari UNS.
start dari halte trans jogja KOPMA UGM ke stasiun tugu. simulasi di stasiun tugu, lalu naik kereta ke solo.
simulasi ini sendiri maksudnya adalah, dimana sebagian dari kami harus berpura pura 'difabel'. jadi kami diberi oleh Pak Harry alat alat, tiap kelompok ada 2 pasang kruk, satu kursi roda, satu earplug (untuk simulasi tuli), kacamata low vision, dan blindfold dan tongkat putihnya.
saya sendiri dalam simulasi tersebut hanya mencoba coba sedikit sedikit.
karena kalau pake kruk, kebetulan kruk yang kelompok saya dapat adalah adult kruk, yang mana terlalu tinggi buat saya. (jadilah hanief, dito, philip, dan imron yang banyak menggunakannya). untuk kursi roda, sepertinya agak berat, jadi dipilihlah laki laki. begitu juga untuk yang buta.
hanief dan kruk dan capek. pake kruk sampe stasiun tugu aja -_-
dito dan kursi roda. sampe masjid solo.
gata dan kursi roda. all day long! :D
kami juga ditemani oleh mbak sri dan pendampingnya dari UCP. semacam organisasi untuk difabel. mbak sri adalah seorang difabel (beneran) pengguna kursi roda. tapi mbak sri bisa naik motor loh, motornya sudah diedit sedemikian rupa semacam pick up kecil pendek yang ada pintu belakang yang bisa dijadikan ramps untuk mbak sri dan kursi rodanya.
kesan pertama di bus transjogja menuju stasiun tugu, si hanief yang waktu itu mencoba pake kruk (kakinya diberi pemberat agar lebih terasa 'pincang'nya) tidak ada yang memberikan tempat duduk. alhasil berdirilah dia dari KOPMA sampe stasiun.
sampai di stasiun tugu, saya menemukan hal yang aneh, yaitu ada tulisan jalan khusus difabel dan orang tua lewat terowongan khusus. sayang nya terowongan tersebut ditutup, anehnya, terowongan itu bukanlah terdiri dari ramps (jalan dengan kemiringan tertentu untuk mempermudah membawa barang, pejalan kaki, maupun difabel). tapi tangga! weird -__-
mungkin karena itulah terowongannya masih ditutup karena (diharapkan) ada perbaikan dari tangga menjadi ramps.
stasiun tugu sendiri sudah menyediakan ramps untuk menuju peron peron kereta, walaupun masih agak ketinggian sampai sampai si dito hampir terjungkal. hanya saja untuk kamar mandinya yang lorongnya lebarnya hanya 70cm jelas tidak bisa diakses oleh pengguna kursi roda.
kesulitan lainnya yang dialami adalah oleh ardho yang 'berpura-pura' buta. sama sekali tidak ada guiding block atau petunjuk apapun. dia harus dituntun kemana mana.
jam 10.30 kami naik kereta pramex menuju solo.
kesan saya adalah, keretanya bersih, dan bagus mirip mirip MRT :D
nyaman sekali naik kereta disitu. tidak seperti image saya terhadap pramex. lagipula saya terakhir naik pramex SD atau SMP sepertinya, jelas sudah banyak berubah.
kereta pramex jogja - solo yang bagus dan nyaman :D
sampai di stasiun balapan solo, ternyata tidak ada sama sekali levelling untuk membantu penumpang turun dari kereta api. sehingga teman teman yang bersimulasi dengan kursi roda harus digendong (totalitas men B)).
saya sendiri merasa kesulitan karena harus semacam 'melompat' turun dari kereta. bagaimana kalau orangtua? atau anak anak?
dito digendong naik bus
setelah itu kami naik bus menuju masjid (saya lupa menanyakan apa nama masjidnya) dan lagi lagi pengguna kursi roda mengalami kesulitan memasuki bus. di masjid kami beristirahat, sholat, dan makan (tidak bersimulasi) serta berkenalan dengan teman teman arsitektur dari UNS yang juga mengikuti aksesibilitas di universitas mereka. hanya saja jumlah peminatnya lebih sedikit dibandingkan kami yang mencapai 40 - 50 orang, mereka hanya 15an anak.
saya mencoba bermain main dengan kursi roda. agak sulit menjalankan kursi roda di paving block di pelataran masjid, karena beberapa rusak sehingga kadang kadang kursi rodanya 'anjlok'.
dari masjid kami berjalan menuju 2 pasar. yaitu pasar...... *lupa namanya* dan pasar triwindu.
saya dan kursi roda di pelataran masjid
pedestrian di solo bagus dan terolah dengan baik. itu kesan saya :D
pedestrian di solo
arah menuju pasar pertama
di pasar pertama terdapat ramps panjang menuju tiap tiap lantai di pasar tersebut. tapi lagi lagi ramps nya terlalu curam sehingga masih menyulitkan untuk teman teman difabel mengaksesnya. ramps yang gelap juga membuat low vision kesusahan berjalan (kebetulan saat itu saya mencoba menjadi low vision).
pasar pertama
di pasar triwindu, masih sama, ramps terlalu curam dan bakan lebih sempit dari ramps di pasar pertama. terlebih lagi di pasar windu, lorong antar toko terlalu sempit, karena tiap toko banyak menggunakan badan lorong untuk display dagangannya.
lampu jalan di pedestrian menuju pasar triwindu
tapi pasar triwindu sangat bagus, menarik, banyak banget barang barang vintage dan beneran lama dijual di sana. ada gembok tua, kamera polaroid lama, gelang gelang dan kain kain vintage. tapi sepertinya masih belum optimal karena masih sepi dan baru lantai dasar saja yang terisi penuh.
selamat datang di pasar triwindu, solo
setelah itu, kami kembali naik bus menuju stasiun (simulasi selesai). lalu pulang. kereta pramex solo - jogja tidak sebagus waktu berangkat tadi. kami turun di bandara adisucipto jogja, jadi dari stasiun kecil itu kami harus melewati pintu putar baru selanjutnya masuk ke bandara dan menuju shelter bus transjogja. mbak sri, difabel yang ikut simulasi kami itu tadi, tidak dapat melewati pintu putar tersebut karena hanya berjarak 80cm. akhirnya mbak sri dan pendampingnya harus berputar arah lain untuk mencapai halte transjogja.
dari halte transjogja kami menuju KOPMA lalu pulang :D
what a tired day, indeed. panas, capek, ngantuk, haus, laper. jajan terus di setiap pemberhentian, di stasiun beli kue maryam, semacam cane yang diberi gula, beli minum, hanief beli mister burger, dan sebagainya.
hemm.. kesimpulannya sih, sebenarnya inisiatif untuk menuju ke arah universal design (mungkin) sudah ada, namun belum pada standar yang tepat untuk digunakan.
dan lagi sepertinya difabel di Indonesia tidak se-'open' difabel di negara negara yang aksesibilitasnya sudah bagus seperti Jepang, difabel di Indonesia memiliki kecenderungan semacam minder (in my opinion).
kalau kata Pak Harry di akhir sesi, kita harus memulai aksesibilitas dan universal desain ini dari diri kita sendiri dari hal hal kecil. diharapkan nanti akan menjadi rantai yang meluas dan membuat aksesibilitas menjadi hal yang lumrah di Indonesia.
yah begitulah. saya jadi kepikiran, haruskah desain hotel studio saya diberi akses ramps menuju lantai 2 ? :O
bonus foto sepatu oranye saya :p