A Food for Thoughts about Journeys

By addinaf - 10:07:00 PM




I’ve been through the sea, cities, galleries, events, and so on. Not that much you can call me a traveler but my last trip was different.

Ini pertama kali nya saya naik gunung. Like literally. Buat saya, awalnya, naik gunung seperti kegiatan yang membutuhkan fisik kuat. Saya lebih suka berkutat di bidang yang berhubungan dengan menulis menggambar atau membuat sesuatu di balik layar. Saya yang di awal kuliah memang belum terlalu suka olahraga (baru di akhir saya suka futsal dan sekarang saya jogging dan yoga), saya merasa saya tidak sekuat dan se strong itu untuk naik gunung.

Di awal kuliah, saya lebih sering jalan jalan kota (melihat lihat karya arsitektur), galeri, dan bangunan, selain itu saya lebih cenderung memilih ke tempat yang berbau ke laut an (perjalanan saya sebelumnya memang di dominasi oleh laut). Selama perjalanan perjalanan saya tersebut, there is always one question that popped out in my mind. I don’t know what it is but I know that this is answered when I arrived home after this –first timer.


City
Event
Saya suka laut. Saya suka pantai meskipun saya yang tidak begitu ahli berenang ini, tapi saya suka snorkeling dan saya merasa super duper kecil sekali kalau saya melihat ke dalam laut. I feel so small. Istilah sunda nya sih; da aku mah apa atuh. Saya benar benar merasa kalau saya hilang di sini, yasudah. Akhir dari semua. Saya takut. Laut begitu dalam, tak berdasar, dan penuh rahasia.
Tapi, pernah nggak sih merasakan kenapa masih ada sedikit ke arogan an di sana? Saya hampir selalu merasa ada yang mengganjal dari perjalanan perjalanan laut tersebut. Seperti hanya sekedar ingin berlibur, berfoto, bermain, tapi rasanya kurang ada keintiman. Sesuatu yang saya sendiri sebenarnya tidak tahu apa.


Laut
Kemarin, saya naik gunung, terlepas dari trend naik gunung setelah menonton film 5cm. Bisa dibilang saya ikut tren. Bisa dibilang juga tidak. Saya sudah menonton film 5cm dan saat itu saya tidak serta merta tertarik naik gunung. Ketertarikan saya baru di akhir akhir kuliah namun saya masih belum merasa yakin dengan kemampuan fisik saya (yang saat itu belum terlalu suka berolahraga).

Sekali lagi, buat saya, gunung masih merupakan sesuatu yang sakral, yang perlu kehati hatian saat kamu memutuskan untuk ke sana. Bukan berarti tidak semua orang bisa ke sana, tapi apa ya. Ada yang berbeda. Dan saya baru merasakan perbedaannya antara laut dan gunung setelah saya mengalami keduanya.

Kenapa ya? Saya merasakan ada kedekatan dan keintiman yang berbeda saat kamu naik gunung. Saya berbicara bukan sebagai pecinta gunung sejati. Saya adalah orang yang suka laut, suka kota, suka gallery, suka event, dan suka gunung juga. Bisa dibilang saya cukup netral.
Hampir setiap kami bertemu pendaki lain selama pendakian, kami selalu saling sapa. Hal ini tidak banyak saya temukan di laut, kebanyakan yang kenal dekat hanya yang satu rombongan saja.  Sedangkan di gunung, saya cukup kaget karena bercandaan selama saling salip menyalip saat naik, masih diingat saat kami bertemu di jalan turun. Saya sendiri cukup lupa dengan mukanya, tapi guyonan makan ayam di gunung saya masih ingat, dan si mas ma situ bercandain kami saat bertemu di jalan turun.
Kemudian saya merasa tingkat kesulitan gunung membuat kami harus saling tolong menolong dan membantu, kenal dan ataupun tidak kenal. Misalnya kemaren, teman kami Risa yang keselo, dibantu oleh teman pendaki lain (rombongan lain), mereka membantu membebat kaki Risa dan memberikan pinjaman sandal kepada Risa. FYI sandalnya sandal gunung kece, bukan swallow gitu. Mereka bilang nanti saja ketemu di bawah. Tapi kami tidak bertemu dan memberikannya pada tim SAR.

Cerita cerita di atas diperkuat oleh cerita teman saya, sekaligus Pak Ketua rombongan kemaren, Bayu Ardiyanto di blog nya dalam perjalanan naik gunung terakhirnya ke Ciremai disini.
Selain itu, entah kenaa kehangatan juga terasa lebih tercipta di gunung, karena lebih minim sinyal, hiburan, dan listrik, kami terhibur dengan view yang cantik, setelah bercapek capek, dan bernyanyi nyanyi atau akhirnya ended up saling bercerita dan berbagi. Dan entah kenapa perasaan saya lebih ‘tercipta’ saat di gunung. Gunung lebih pas buat merenungi dan memaknai kehidupan (etseh). I mean where we sit alone in a quite yet a big place, di mana berbagai kemungkinan bisa terjadi atas kehendak alam. Berpikir tentang pencapaian kehidupan, perasaan, cinta, keputusan, atau apa saja, bahkan tentang bagaimana lebih menghargai alam. Hal hal seperti itu yang tidak banyak saya temui di tempat tempat lain.
I feel like there are so many things I want to write, I want to tell you but I just ended up think about all of those by my self.

Kalau kata salah seorang teman dekat saya Reza, dia yang sebagai pecinta gunung bilang, kalau di gunung orang se introvert apapun pasti akan bersosialisasi, persis seperti apa yang teman saya Bayu (Ucup) katakan pada saya tentang dirinya sendiri (bagaimana dia merasa lebih mudah bersosialisasi di 'atas' daripada di 'bawah'). Sedangkan orang se ekstrovert apapun pasti akan sedikit lebih menahan dirinya di Gunung.
Banyak pertanyaan yang muncul dan pemikiran yang muncul setelah saya turun di gunung. Memori saya kembali kepada buku Catatan Harian Seorang Demonstran nya Gie (waktu itu saya masih kelas berapa ya) di mana saya jatuh cinta pada sosok Gie yang somantis. Pada puisi puisinya. Tidak heran kalau Gie bisa menulis dengan baik. Rasanya mungkin rugi bagi orang yang suka naik gunung tapi tidak menulis. Saya sendiri merasa sangat rugi, kalau bisa saya ingin kembali pada perasaan saat saya di atas dan menuliskan nya langsung.

Sampai detik ini, terhitung seminggu setelah saya dari sana, rasanya otak dan perasaan saya masih tertinggal di atas sana, di 2958mdpl sana. Saya ingin ke sana lagi, atau ke gunung lain lagi, yang lebih tinggi, yang lebih indah, yang lebih memorable, dengan orang yang sama, dengan orang yang berbeda, atau dengan siapapun. Ingin menulis, membaca, berbincang bincang dengan teman teman, tentang apa saja. Dan sedikit banyak mempertanyakan makna dari keberadaan masing masing di dunia ini.
Gunung bukan hanya sekedar puncak atau pemandangan yang indah. Ini bukan karena eksistensi diri. Tapi lebih kepada perasaan yang muncul dalam perjalanan, yang mungkin tidak kamu temui di laut dan atau kota. Perjalanan. Perbincangan dan usaha yang kamu lakukan di perjalanan tersebut. Perasaan yang muncul selama kamu berjalan sejauh 6 jam perjalanan naik turun dan hingga sampai di suatu puncak dan melihat sendiri bagaimana kamu sudah melewati itu semua.

Ada perasaan sentimentil, perasaan melankolis yang aneh.


Life was just happens.

Cities teach you about design, architecture, and urban life.
Sea teach you about how it is a 'different' life somewhere (it's the sea itself) that is infinity
Mountains teach you more about the meaning of life, human, God, and earth

Addina Faizati
Malam beberapa hari setelah berada di bawah
Already miss the top, but
she still miss the beaches, city, and the events, though'

  • Share:

You Might Also Like

5 comments

  1. sampai kapanpun saya masih cinta laut daripada gunung

    capek bingit nanjaknya wkwkwk

    ReplyDelete
  2. akhirnya muncak juga ya kak. aku juga suka banget gunung.
    muncak gunung emang ngajarin banyak hal terutama kebersamaan & loyalitas ya hehee :)
    salam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo hana!
      iyaaa rasanya tuh gimana ya <3
      duh jadi kangen naik lagi :"
      ciyeh banget :")))

      Delete
  3. Baru sempet daki bukit tertinggi di kota Ponorogo, karena disana nggak ada gunung.
    Kalau bener2 daki gunung belum pernah, apalagi snorkeling. Bahagia ya yg udah pernah semuanya. :D
    Lebih sering ke pantai, menikmati pemandangan laut sampai batas horizon dan semilir angin laut yang menyejukkan sambil liat sunset. Karena memang ruma deket sama laut.

    ReplyDelete